Suku Bunga Acuan Bikin Konsumen KPR Ketar-Ketir

Suku Bunga Acuan Bikin Konsumen KPR Ketar-Ketir

Jakarta-Keputusan Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuannya(7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) sebesar 25 bps tak pelak membuat konsumen pemburu properti ketar-ketir. Kenaikan suku bunga itu dinilai cepat atau lambat akan mengerek tingkat bunga kredit bank. Khususnya, bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang kemungkinan naik lebih dulu ketimbang bunga kredit korporasi. Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, kenaikan ini mempertimbangkan indikator rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang lebih kecil, ketimbang mengerek bunga kredit korporasi yang memberi risiko NPL yang lebih tinggi. Padahal, bank baru saja melewati masa-masa konsolidasi akibat penggelembungan NPL tahun lalu, dan tengah berekspansi untuk menggaet kredit baru, sehingga target pertumbuhan kredit bisa dicapai. Selain itu, persaingan bunga kredit korporasi masih cukup ketat dan segmen ini merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan kredit. Jadi, ketika suatu bank mengerek bunga kredit segmen ini, maka tak akan kompetitif jika bersaing dengan bank lain. "Kalau sekarang bunga korporasi tidak akan dinaikkan dalam waktu dekat, tapi kalau (kredit) konsumer lebih mungkin dinaikkan, misalnya KPR. Sekarang memang masih ada promo bunga fix, tapi setelah itu, sudah lebih fleksibel," ujar Andry seperti dikutip dari laman CNN Indonesia.com, Kamis (17/5). Sekalipun bunga kredit dinaikkan di berbagai segmen, Andri memproyeksi, realisasi dampaknya baru terjadi pada kuartal IV 2018. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan BI akan lebih dulu berdampak pada tingkat bunga simpanan (deposito). Dalam pernyataannya, dia juga memperkirakan suku bunga belum berhenti bergerak, melainkan bisa naik lagi ke level 50 basispoin (bps). "Jadi kalau normalnya, mungkin satu dua kuartal baru ada dampak ke Dana Pihak Ketiga (simpanan) lalu tiga kuartal baru berdampak ke kredit. Setidaknya ketika BI sudah menaikkan bunga acuan sampai 50 bps," katanya. Kenaikan bunga tersebut tak akan cepat terjadi lantaran dari sisi likuiditas bank masih cukup untuk mempertahankan bunga kredit yang rendah. "Kalau dilihat dari DPK rupiah sekarang, bank masih punya likuiditas yang cukup. Tantangannya mungkin di DPK valuta asing yang kemarin sempat turun," jelasnya. Sementara secara keseluruhan, ia memproyeksi pertumbuhan kredit tahun ini memang belum sesuai dengan target bank sekitar 12,2 persen berdasarkan Rencana Bisnis Bank (RBB). Alasannya, bank baru mulai tancap gas menggenjot penyaluran kreditnya. "Saya targetkan jadi 10,2 persen dari sebelumnya 12,2 persen. Tapi setidaknya bank sudah mulai berlomba menyalurkan kreditnya, terutama bank besar," tuturnya. Dari sisi industri, bank mengaku masih optimistis dapat menahan bunga kredit, meski bank sentral nasional telah mengerek suku bunga acuannya. PT Bank Central Asia Tbk atau BCA beralasan, hal ini untuk mempertahankan daya saing bank dalam menawarkan bunga kredit rendah. "Bunga kredit kami tahan supaya bisa lebih bersaing. Kami review bunga bulan demi bulan, kami tidak berani sesumbar jauh-jauh hari, nanti di-komplain nasabah kalau salah proyeksi," ucap Direktur Utama BCA Jahja Setiatmadja. Menurut Direktur Utama Bank Mayapada Hariyono Tjahjarijadi, kenaikan suku bunga acuan lebih erat dampaknya pada kenaikan suku bunga deposito. Bila suku bunga deposito masih bisa ditahan, maka bunga kredit tak perlu tergesa-gesa untuk ikut naik. Begitu pula bila bunga deposito dinaikkan, namun bank masih memiliki margin yang baik meski bunga kredit tidak dinaikkan. Maka, tidak serta merta kenaikan bunga kredit harus dipercepat oleh bank.(cnn)

Sumber: