Duit Suap PLTU Riau-1 Biayai Munaslub Golkar

Duit Suap PLTU Riau-1 Biayai Munaslub Golkar

JAKARTA--Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dana suap proyek PLTU Riau-1 yang digunakan oleh tersangka Eni Maulani Saragih. Hal tersebut terungkap saat JPU membacakan berkas tuntutan terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (26/11). Jaksa Ronald Worontikan mengatakan, sebagian dari total dana Rp4,750 miliar yang diterima Eni dari Kotjo, digunakan untuk gelaran musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Partai Golkar. Selain untuk munaslub, dana tersebut sebagian juga digunakan untuk Pilkada sang suami di Kabupaten Temanggung. Masing-masing, jumlahnya sebanyak Rp2 miliar. "Rp2 miliar ditujukan untuk munaslub Golkar dan Rp2 miliar untuk pemenangan Pilkada suami Eni Maulani Saragih," papar Ronald. Sementara itu, JPU menuntut Kotjo hukuman empat tahun penjara. Tuntutan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Kotjo terbukti menyuap Eni sebesar Rp4,750 miliar. Uang tersebut diberikan agar Eni mau mengusahakan perusahaan Kotjo, Blackgold Natural Resources (BNR), untuk terlibat dalam penggarapan proyek PLTU sebesar USD900 juta itu. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 4 tahun denda Rp 250 juta, subsider 6 kurungan," kata Ronald. Ada sejumlah pertimbangan yang menjadi dasar tuntutan tersebut. Hal yang memberatkan, yakni Kotjo dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Sementara, hal yang meringankan yaitu bersikap sopan, belum pernah dihukum, serta selama persidangan bersikap kooperatif dan terus terang. Kotjo terbukti menyerahkan uang suap sebanyak empat tahap kepada Eni dan mantan Menteri Sosial, Idrus Marham. Penyerahan pertama dilakukan pada 18 Desember 2017 sebanyak Rp2 miliar, kedua pada 14 Maret 2018 sebesar Rp2 miliar, ketiga pada 8 Juni 2018 sebesar Rp250 juta, dan terakhir pada 13 Juni 2018 sebesar Rp500 juta. Selain itu, jaksa juga menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan oleh Kotjo. Alasannya, Kotjo tidak memenuhi unsur yang ada dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Dalam aturan tersebut, seorang terdakwa dapat menjadi JC jika bukan berperan sebagai pelaku utama. Namun, Kotjo dinilai menjadi aktor protagonis dalam kasus PLTU Riau-1 dengan berperan sebagai pihak pemberi suap. Mulanya, pada 2015 Kotjo meminta bantuan Ketua DPR saat itu, Setya Novanto, untuk memuluskan rencananya agar BNR ikut serta dalam proyek PLTU Riau-1. Hal tersebut dilakukan usai surat yang berisi keinginannya tersebut, melalui anak perusahaan BNR, PT Samantaka, tidak kunjung dibalas PT PLN Persero. Novanto kemudian mengutus mantan Wakil Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih untuk memfasilitasi pertemuan antara Kotjo dan Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir. Usai beberapa kali menggelar pertemuan, akhirnya disepakati BNR ikut mengerjakan proyek PLTU Riau-1 bersama anak perusahaan PLN, Pembangkit Jawa Bali Investasi (PBJI). Setelah sepakat, Kotjo lalu menggandeng perusahaan Cina, CHEC Ltd. Chec digaet Kotjo sebagai investor. Chec menyatakan Kotjo akan menerima komitmen fee dari nilai proyek yang menyentuh angka USD900 juta. Disepakati, Kotjo akan menerima 2,5 persen atau sekitar USD25 juta. Fee tersebut tidak untuk dirinya sendiri. Namun, sejumlah pihak juga akan kecipratan. Seperti, Setya Novanto yang dikabarkan akan menerima USD6 juta, Andreas Rinaldi USD6 juta, CEO BNR Rickard Phillip Cecile USD3,125 juta, Dirut PT Samantaka USD1 juta, Chairman BNR Intekhab Khan USD1 juta, dan Direktur PT Samantaka James Rijanto USD1 juta. Terakhir, Eni dijanjikan menerima komitmen fee sebesar 3,5 persen dari yang diterima Kotjo, yakni USD875 ribu.(Riz/fin)

Sumber: