Pegiat Lingkungan Desak Pemprov Bangun TPA Terpadu, Banten Darurat Sampah

Pegiat lingkungan dari Saung Hijau Indonesia (SAHID), M. Ridho Ali Murtadho.--
TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Persoalan sampah di Provinsi Banten masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Tumpukan sampah di berbagai wilayah terus meningkat setiap tahun, sementara sebagian besar kabupaten/kota belum memiliki sistem pengelolaan yang memadai. Bahkan, tidak sedikit daerah yang belum memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sendiri.
Pegiat lingkungan dari Saung Hijau Indonesia (SAHID), Ridho Ali Murtadho, menilai persoalan utama sampah di Banten bukan semata karena kurangnya fasilitas, tetapi juga akibat rendahnya kesadaran masyarakat dan lemahnya sistem pengelolaan dari pemerintah daerah.
“Permasalahan utamanya berawal dari kesadaran masyarakat. Masih banyak yang belum paham bagaimana cara mengelola sampah dengan benar, termasuk memilah dan memanfaatkan kembali. Selain itu, pemerintah juga perlu memahami dan menerapkan sistem pengelolaan yang benar, mulai dari hulu hingga hilir,” kata Ridho saat dihubungi oleh Tangerang Ekspres, Senin (14/10).
Ia menjelaskan, sebenarnya regulasi terkait pengelolaan sampah sudah diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Banten Nomor 23 Tahun 2022, yang menargetkan pengurangan timbulan sampah rumah tangga hingga 100 persen pada tahun 2029. Namun, capaian di lapangan masih jauh dari harapan.
“Sampai sekarang, baru sekitar 13 persen sampah yang benar-benar terkelola. Artinya masih sangat jauh dari target. Bahkan banyak kabupaten/kota yang belum punya TPA, dan yang sudah ada pun masih menggunakan sistem open dumping, padahal itu seharusnya sudah dilarang,” ujarnya.
Ridho menilai, lemahnya pengelolaan sampah di Banten juga diperparah oleh minimnya fasilitas TPA di setiap kabupaten/kota. Beberapa daerah bahkan masih bergantung pada wilayah lain untuk pembuangan akhir. Namun, kerja sama antarwilayah kerap terhambat karena muncul penolakan dari masyarakat setempat.
“Banten sampai sekarang belum punya TPA provinsi. Banyak daerah masih mengandalkan wilayah tetangga, tapi karena kurangnya edukasi ke masyarakat, sering muncul penolakan. Misalnya Kabupaten Serang yang menolak pembuangan sampah dari daerah lain,” katanya.
Menurutnya, pemerintah provinsi perlu turun tangan lebih serius dalam mengoordinasikan dan menyediakan infrastruktur pengelolaan sampah yang berskala regional. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPS) 3R di setiap wilayah.
“Pemerintah bisa membangun TPS-TPS 3R di tingkat regional, misalnya satu unit untuk tiga kecamatan. Anggarannya ada di Kementerian PUPR, tinggal mau atau tidak dimanfaatkan. Dengan begitu, pengelolaan bisa merata dan tidak ada lagi daerah yang saling lempar sampah,” jelas Ridho.
Ridho menegaskan bahwa solusi persoalan sampah harus dimulai dari sistem yang berjalan utuh dari hulu hingga hilir. Artinya, pengelolaan harus dimulai dari rumah tangga, bukan hanya di TPA.
“Masyarakat perlu diedukasi untuk memilah sampah organik dan anorganik sejak di rumah. Sampah organik bisa dijadikan kompos, sedangkan yang anorganik bisa diolah menjadi produk bernilai ekonomi. Salah satu caranya dengan menghidupkan bank sampah,” katanya.
Namun, Ridho mengakui, banyak masyarakat yang belum paham cara kerja bank sampah. Karena itu, dibutuhkan regulasi yang ketat dan edukasi berkelanjutan agar sistem ini benar-benar berjalan. “Kalau hanya mengandalkan imbauan tanpa pendampingan, ya susah. Harus ada sistem dan insentif yang jelas,” tambahnya.
Selain itu, Ridho mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat kolaborasi dengan komunitas dan kelompok masyarakat. Menurutnya, pengelolaan sampah akan jauh lebih efektif jika masyarakat dilibatkan sejak awal, bukan hanya dijadikan objek sosialisasi.
Terkait wacana pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pengelola sampah di Banten, Ridho menilai ide tersebut bisa saja baik jika dijalankan secara profesional dan transparan. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru membentuk BUMD tanpa menyiapkan infrastruktur dasar terlebih dahulu.
Sumber: