64 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kota Serang, Mayoritas Kasus Pelecehan Seksual

Wakil Wali Kota Serang Nur Agis Aulia didampingi Kepala DP3AKB Kota Serang Anthon Gunawan, saat menghadiri kegiatan Koordinasi Lembaga Pemberi Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak, Rabu (15/10).--
TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Serang masih menjadi persoalan serius. Hingga Oktober 2025, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Serang mencatat 64 kasus kekerasan yang sebagian besar telah diproses secara hukum. Dari jumlah tersebut, mayoritas merupakan kasus pelecehan seksual yang melibatkan pelaku dari lingkungan dekat korban.
Kepala DP3AKB Kota Serang, Anthon Gunawan, menyampaikan hal tersebut dalam kegiatan Advokasi Kebijakan dan Pendampingan Layanan Perlindungan Perempuan Kewenangan Kabupaten/Kota yang digelar di Pokel Garden, Kota Serang, Rabu (15/10). Kegiatan tersebut menjadi wadah mempertemukan berbagai organisasi dan lembaga yang memiliki perhatian terhadap isu perlindungan perempuan dan anak.
“Kami ingin mengetahui organisasi mana saja yang memiliki perhatian terhadap isu yang sama, yaitu pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kami yakin masih banyak lembaga yang peduli, dan melalui kegiatan ini kami berharap dapat membangun jejaring baru untuk berkolaborasi,” ujarnya.
Menurut Anton, DP3AKB saat ini tengah menyiapkan program Rumah Kolaborasi yang dinamakan “Ruko Saling Sapa”. Program tersebut bukan rumah dan toko, melainkan singkatan dari Rumah Kolaborasi – Saling Sapa, sebagai pusat layanan terpadu bagi korban kekerasan maupun upaya pencegahan.
“Di Ruko Saling Sapa nanti akan tersedia layanan hukum, tenaga psikolog, dan dukungan kesehatan bagi korban. Kami juga melibatkan sejumlah OPD dan organisasi masyarakat, termasuk Dinas Kominfo, untuk membantu penyebaran informasi serta memperluas jangkauan layanan,” jelasnya.
Dari 64 kasus yang tercatat sejak Januari hingga Oktober, seluruhnya telah mendapatkan pendampingan hukum, sementara satu hingga dua kasus masih dalam proses karena keluarga korban belum siap melapor. Anton menyebut, selain kasus hukum, DP3AKB juga telah menangani 55 kasus konseling yang datang langsung ke kantor, belum termasuk kegiatan pendampingan ke sekolah-sekolah.
“Sebagian besar kasus berawal dari perkenalan di media sosial, kemudian berlanjut ke pertemuan langsung hingga terjadi pelecehan. Selain itu, ada juga kasus yang dilakukan oleh orang-orang terdekat, seperti ayah, paman, atau kakak kandung korban,” tambahnya.
Anton menegaskan bahwa seluruh kasus kekerasan seksual diproses secara hukum tanpa ada ruang untuk perdamaian, sesuai amanat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun, untuk kasus yang melibatkan anak di bawah umur dan tidak termasuk Kekerasan Seksual, penyelesaian dapat dilakukan melalui mekanisme diversi agar pelaku tidak kehilangan hak pendidikannya.
“Diversi dilakukan dengan melibatkan kejaksaan, kepolisian, dan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Tujuannya mencari solusi yang adil dan melindungi anak tanpa mengabaikan aspek hukum,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Serang, Nur Agis Aulia, menegaskan bahwa pemerintah kota terus memperkuat komitmen perlindungan terhadap perempuan dan anak melalui berbagai kebijakan dan program kolaboratif. Salah satunya dilakukan melalui Tim Penggerak Pemberdayaan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (TP3AKB).
“Kami ingin meningkatkan perlindungan perempuan dan anak dengan cara berkolaborasi. Melalui TP3AKB, kami ingin menghubungkan berbagai organisasi yang memiliki kepedulian serupa agar bisa bekerja bersama. Jika ada kasus, penyelesaiannya bisa dilakukan secara kolektif dan berjejaring,” kata Agis.
Ia menjelaskan, bentuk kolaborasi akan disesuaikan dengan bidang masing-masing organisasi. Misalnya, lembaga hukum dapat membantu proses penegakan hukum, sementara asosiasi psikolog dapat memperkuat pendampingan korban.
Selain penguatan kolaborasi, Pemkot Serang juga mengembangkan program “Colling Pepa” yaitu layanan pelaporan cepat bagi masyarakat ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Program ini disertai upaya edukasi menyeluruh hingga tingkat RT dan RW agar kesadaran masyarakat terhadap pencegahan kekerasan semakin meningkat.
“Yang paling penting adalah edukasi dari bawah. Kami ingin masyarakat paham bahwa pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak harus dimulai dari lingkungan terkecil,” ujarnya.
Sumber: