Hoaks Bisa Memecah Bangsa

Hoaks Bisa Memecah Bangsa

CIPUTAT-Maraknya hoax (berita bohong) tak boleh dibiarkan. Karena, mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Apalagi, menjelang Pemilu 2019 dan pilkada serentak 2018 ini. Pastikan terlebih daulu kabar yang diperoleh sebelum disebar karena bisa jadi itu hoaks. Hal ini, dikatakan Budayawan Senior Indonesia Ridwan Saidi dalam dialog bersama warga Pisangan, Ciputat Timur, Sabtu (17/3). Menurutnya, saat ini pemberitaan atau kabar hoaks bukan lagi bersifat sindiran. Melainkan langsung membentuk ucapan kasar dan ditunjukan ke sebuah kelompok tertentu. “Kalau kondisinya seperti ini, lalu dibiarkan nantinya akan membenturkan antar-kelompok. Entah itu ras, suku bahkan agama,” ujar Ridwan. Sebagai budayawan Betawi, Ridwan merasa miris. Sebab berita-berita hoaks, sedikit demi sedikit akan membumihanguskan budaya yang dimiliki bangsa. Ini sangat mengancam karena Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. “Jika dipahami masyarakat akan berpikir dan bertingkah sesuai dengan kebhinekaan. Berbeda budaya suku dan ras tapi, tetap satu tujuan,” ucapnya. Dalam hal ini, ia berharap Pemerintah kembali menguatkan instrumen budaya yang dimiliki. Dengan cara menghadirkan nilai kebudayaan. Sehingga jiwa kebudayaan masyarakat Indonesia bisa terus terpupuk dan tidak akan mudah menelan berita dan kabar hoaks. “Terkait ini pemerintah perlu melakukan pembinaan kepada masyarakat. Jadi, mereka tidak mudah termakan berita atau kabar hoax yang sangat gampang beredar secara luas dan cepat,” tambahnya. Sementara di tempat yang sama, Pengamat Politik dari Universitas Uin Syarif Hidatyatullah M Zaki Mubarak mengatakan, saat ini Indonesia dalam masa krisis kepercayaan. Dimana masyarakatnya muda terpengaruh dengan adanya berita bohong. "Indonesia ini cukup mengkhawatirkan. Pemberitaan, isu dan kabar hoax bisa memfitnah sebagian kelompok masyarakat. Dari isu beredar banyak sekali korban berjatuhan," kata dia. Dalam hal ini, Zaki mengatakan agar pemerintah bisa terus membuat regulasi sampai berita hoax tidak lagi meresahkan masyarakat Indonesia. Jangan sampai ada oknum yang emmanfaatkan kondisi seperti ini. “Saya nggak setuju kalau hoax langsung ditangani secara represif. Selama ini polisi yang digunakan sebagai alat. Ada orang yang mengkritik presiden, pejabat hingga ketua partai langsung polisi yang menangkapi para pelaku yang diduga membuat hoax,” kata Zaki. Menurutnya, padahal bisa saja orang yang melakukan tersebut karena ketidak pahaman atau keisengan. Apalagi, jika pelaku merupakan remaja. “Kalau remaja yang berumur 16 atau 17 tahun langsung diproses di kepolisian. Ini tidak mendidik. Seharusnya respon dari pemerintah harus lebih bersifat edukasi dan kulutural untuk hal penyadaran. Tidak langsung diproses ke pengadilan, seola-olah motifnya politik, dibelakangnya ada faktor politik yang membayar,” ucapnya. Penindakan tersebut, kata Zaki menyebabkan trauma dan takut. Hal ini justru menciderai proses demokrasi. “Seperti karikatur kritik ada meme ya hal biasa di nagara demokrasi. Justru polisi dan pemerintah sendiri yang belum siap berdemokrasi. Sedikit-sedikit nangkap. Pengamat jadi takut mengktitik entar kita dikira membuat hoax padahal itu analisis,” pungkasnya. (mg-7/esa)

Sumber: