Tim Hukum Mulai Bekerja, Wiranto Tak Peduli Penolakan dari Sejumlah Elemen Masyarakat

Jumat 10-05-2019,03:06 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA -- Tim bantuan hukum untuk Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), sudah mulai bekerja. Mereka akan membantu Kemenko Polhukam untuk menentukan suatu aksi, tindakan, atau ucapan seseorang ataupun kelompok masuk ke pelanggaran hukum atau tidak. "Sudah mulai (hari Kamis ini), tadi kan sudah rapat," ungkap Menko Polhukam, Wiranto, usai menggelar rapat dengan tim bantuan hukum Kemenko Polhukam di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (9/5). Wiranto menjelaskan, tim tersebut akan melihat dan menilai aksi atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok termasuk ke dalam tindakan inkonstitusional atau tidak. Mereka akan mempertimbangkan hal tersebut dan hasilnya akan diberikan ke aparat keamanan untuk dijadikan referensi sebelum bertindak. "Siapa ngomong apa, hasutannya bagaimana, akibatnya bagaimana. Kapan, di mana, ya semua kan sudah ada proses hukumnya," ujar Wiranto. Saat ini, sudah ada 22 nama pakar hukum yang masuk ke dalam tim bantuan hukum itu. Tetapi, Wiranto menerangkan, Kemenko Polhukam masih membuka kemungkinan untuk melakukan penambahan, baik perorangan maupun organisasi profesi hukum. "Ada klausul bahwa masih terbuka untuk penambahan-penambahan baik perorangan maupun dari organisasi profesi hukum. Dan sudah ada yang mendaftarkan kepada kami untuk menjadi bagian dari tim asistensi itu," tuturnya. Tim tersebut akan berisi para profesor, doktor, dan pakar hukum dari berbagai universitas dan lembaga. Mereka akan membantu Kemenko Polhukam untuk memilah tindakan mana saja yang bisa dan tidak bisa dianggap melanggar hukum. Wiranto menerangkan, saat ini banyak aktivitas-aktivitas yang seharusnya sudah masuk kategori melanggar hukum dan ditindak tetapi tidak ditindak karena jumlahnya yang begitu banyak. Banyaknya jumlah aktvitas itu mempersulit pemilahan secara singkat mana saja yang melanggar dan tidak melanggar hukum. "Nah kita butuh tim bantuan itu. Bukan berarti secara formal dan secara organisasi kemudian kita abaikan, tidak. Kita memang ada, pemerintah punya lembaga-lembaga hukum yang sudah formal dalam ketatanegaraan Indonesia kan ada," tuturnya. Menurut mantan Panglima ABRI ini, tim tersebut akan melihat permasalahan yang ada dari sudut pandang masyarakat, yakni masyarakat intelektual yang memiliki pemahaman terhadap hukum. Berbeda dengan kepolisian, kejaksaan, dan lembaga hukum formal lainnya. Tim hukum bentukan Wiranto ini banyak mendapat penolakan. Salah satunya dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Direktur Eksekutif ICJR, Anggara menilai pembentukan Tim Hukum Nasional menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola isu politik di media dan media sosial. ICJR mempertanyakan inisiatif dari pemerintah ini. "Sebab sebenarnya sudah ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu ucapan atau tindakan seseorang merupakan suatu tindak pidana atau bukan, yakni Kejaksaan dan Kepolisian," kata Anggara dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (8/5) lalu. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menurutnya, sudah secara jelas dikatakan bahwa Penyelidik bekerjasama dengan Penuntut Umum. Mereka memiliki kewenangan untuk segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka mencari dan menemukan apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dilakukan penyidikan. "Sikap yang dikeluarkan pemerintah ini juga menunjukkan ketidakpercayaan Pemerintah terhadap sistem peradilan pidana yang selama ini sudah ada," terangnya ICJR mengingatkan, bahwa kritik yang disampaikan di muka umum terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah hal yang wajar. Hal itu mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi, yang jelas dalam konstitusinya menjunjung tinggi kebebasan dalam mengeluarkan pikiran baik secara lisan dan tulisan. Karena itu, pembentukan Tim Hukum Nasional untuk merespons berbagai isu di media dan media sosial, dalam pandangan ICJR bagian dari ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola berbagai isu yang muncul di media dan media sosial. ICJR mengingatkan, penggunaan kekuasaan dan penggunaan hukum pidana yang berlebihan memiliki potensi besar untuk membahayakan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.(ant)

Tags :
Kategori :

Terkait