Izin 2,3 Juta Ha Lahan Dievaluasi
JAKARTA - Pemerintah menindaklanjuti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang diteken pada 19 September lalu. Dalam Inpres tersebut ada tiga poin yang nantinya akan dikejar. Ketiga poin tersebut adalah Perpres mengenai penyelesaian tanah dalam kawasan hutan, lalu Perpres Moratorium Sawit dan Perpres mengenai Reforma Agraria. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan menindaklanjuti Instruksi Presiden tersebut nantinya pemerintah tidak akan memberikan izin baru untuk lahan sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Termasuk juga yang sedang dalam pengajuan izin kepada pemerintah. Selain itu, pihaknya akan mengevaluasi izin-izin sawit yang sudah dikeluarkan. Evaluasi lahan sawit tersebut mencakup yang berada didalam kawasan hutan. "Yang bagian saya yang kehutanan Inpres moratorium sawit itu tugasnya adalah satu bahwa tidak boleh ada izin baru yang kedua harus dievaluasi izin-izin yang sudah ada permohonannya tapi belum dikeluarkan izinnya," ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (19/10). Berdasarkan data yang dimiliki KLHK, Siti Nurbaya menyebut jika ada sekitar 15 juta hektare (ha) yang akan diidentifikasi. Jumlah tersebut terdiri dari seluruh lahan yang masuk dalam perkebunan dan hutan. Dari 15 juta ha yang akan dievaluasi, 11 juta ha merupakan lahan yang berada di hutan. Sementara khusus lahan sawit ada sekitar 2,3 juta ha yang akan dievaluasi. "Dari 11 juta ada 2,3 juta yang berupa sawit dan sedang diidentifikasi perizinannya dan nanti identifikasi kalau dia sudah dibuka, terkait hutan primer atau enggak," ucapnya. Adapun evaluasi yang dilakukan adalah meliputi siapa pemberi izin lahan tersebut. Selain itu, peruntukan izin lahan tersebut juga akan ditinjau ulang apakah sesuai dengan realita yang ada di lapangan. "Karena misalnya permohonannya enam tahun yang lalu delapan tahun yang lalu nah itu bisa dilihat. Persyaratannya seperti apa, waktu izin sawitnya itu dikeluarkan oleh bupati atau sesuai tata ruang atau tidak itu bagian saya juga," jelasnya. Kebijakan moratorium atau penghentian sementara penanaman kelapa sawit menjadi disinsentif bagi industri kelapa sawit. Tak hanya itu, kebijakan ini juga sangat kontradiktif dengan kebijakan perluasan penggunaan biodiesel 20% (B20). Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Econo mics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, seharusnya pemerintah konsisten dengan kebijakan yang dibuat. Ini mengingat pada 1 September 2018 kebijakan B20 resmi diberlakukan di Tanah Air. Namun, selang hampir tiga pekan kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tak sinkron dengan kebijakan sebelumnya. Sekarang, kata Bhima, pasokan biodiesel masih bermasalah karena ketidakpastian produksi sawit. “Kalau mau fokus kepeningkatan produksi sawit termasuk biodisel, harusnya sawit itu diberi banyak insentif bukan kemudian dihambat. (Ini) Sangat kontradiksi,” kata Bhima di Jakarta, belum lama ini. Keluarnya Inpres No 8/2018 ini, kata Bhima, juga jadi disinsentif bagi industri sawit nasional. Kebijakan ini sangat mengganggu gerak bisnis kelapa sawit, bukan hanya korporasi, tapi juga pekebun rakyat. Ini karena produktivitas per hektare (ha) sawit Indonesia masih rendah, yakni hanya 2 ton per ha, sementara Malaysia sudah 10 ton per ha. Namun, intensifikasi lahan untuk menaikkan produktivitas membutuhkan waktu lama, riset yang mahal, termasuk pencarian bibit unggul, pupuk yang pas, dan lainnya. Di sisi lain, ekspor sawit sebagai komoditas primer penting juga harus didukung dengan kemudahan kebijakan sehingga neraca dagang bisa berbalik menjadi surplus.(kmj/dni/okz)
Sumber: