Bosda Belum Cair, Makin Terjepit

Bosda Belum Cair, Makin Terjepit

TANGERANG-Peralihan kewenangan SMA/SMK oleh provinsi, menjadi pukulan telah bagi kepala sekolah (kepsek) di Kota Tangerang. Bantuan operasional sekolah daerah (Bosda) turun drastis. Sudah kecil, hingga saat ini belum cair. Sekolah tak berani memungut biaya kepada siswa, takut ditangkap tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), Banyak sekolah yang menunggak pembayaran tagihan listrik sampai meniadakan praktik kejuruan. Tak sedikit, sekolah yang memutus akses internet, karena tidak mampu membayar kepada perusahaan penyedia jasa internet. Mau tak mau, para kepsek harus memungut biaya kepada orangtua siswa. Namun, tak mau dicap melakukan pungutan liar (pungli) mereka meminta 'perlindungan' ke Kejaksaan Negeri Tangerang. Sebanyak 24 kepala SMA dan SMK negeri di Kota Tangerang melakukan penandatanganan kesepakatan dengan Kejari Tangerang, Kamis (27/4). “Kami membutuhkan arahan dan masukan agar solusi yang akan kami lakukan tidak berbuntut hukum,” kata Dedi Kurniadi, Kepala SMKN 2 Kota Tangerang usai penandatanganan kesepahaman di sekolahnya, kemarin. Menurut Dedi, sekolah membutuhkan rambu-rambu dan payung hukum terkait pembiayaan sekolah. Ini bertujuan agar sekolah tak lagi mengurangi sejumlah kegiatan penting pendidikan karena alasan keterbatasan dana. Seperti di SMKN 2 Kota Tangerang, kini sudah tidak lagi melaksanakan praktik kejuruan. “Subsidi dari Pemerintah Provinsi Banten belum turun sampai sekarang. Padahal dulu waktu masih dipegang Kota Tangerang, setiap Februari pasti sudah cair,” katanya. Pada saat dikelola Pemkot Tangerang, per siswa menerima Rp220 ribu – Rp 300 ribu setiap bulannya. Kini setelah dikelola Pemprov Banten hanya dijatah Rp 84 ribu per siswa per bulan. “Sudah jauh melorotnya, belum turun pula,” tuturnya. Kebingungan sekolah pun makin menjadi saat mendengar adanya subsidi Rp 50 ribu per siswa per bulan kepada SMA/SMK swasta. “Mereka (sekolah swasta,red) kan memang boleh memungut, kok masih saja dikasih subsidi? Sekolah negeri yang jelas-jelas nggak boleh (memungut) dikasihnya cuma beda 30 ribu,” katanya. Menurutnya, pihak sekolah merasa serba salah mengadapi kondisi ini. Ketika dihadapkan dengan keadaan untuk mencari upaya menutupi kekurangan biaya operasional sekolah, tudingan pungutan liar (pungli) pun membayangi. “Di belakang itu diancam oleh masyarakat tentang pungli dan pelanggaran hak asasi siswa. Sekarang sekolah butuh biaya untuk operasional, tapi provinsi tidak menyalurkan keuangan sesuai kebutuhan. Mau gimana?” katanya. Kepala Kejaksaan Tinggi Negeri Kota Tangerang Edward Kaban menerima aspirasi sekolah. Edward sepakat persoalan pendidikan tidak bisa ditunda-tunda. Kejari pun menugaskan Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) untuk segera mengkaji persoalan pembiayaan sekolah, serta tindakan apa yang bisa diambil penyelenggara sekolah. “Terpenting disetujui semua pihak, keputusan pungutan biaya akan kami dampingi sampai akhir. Kami akan menjadi pendamping di setiap keputusan atau kebijakan yang diambil sekolah. Minimalisir pungli serta melakukan sikap keterbukaan biaya sekolah,” ujarnya. (bun/bha)

Sumber: