Mediasi Dugaan Pengeroyokan Paskibra Buntu

Mediasi Dugaan Pengeroyokan Paskibra Buntu

Komite SMAN 1 Kota Serang menggelar konferensi pers terkait kasus pengeroyokan tersebut, Selasa (30/9). (ALDI ALPIAN INDRA/TANGERANG EKSPRES)--

TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Polemik dugaan pengeroyokan anggota Paskib­ra SMAN 1 Kota Serang terus menjadi sorotan publik. Kasus yang terjadi pada (13/8) lalu itu dilaporkan ke Unit Perlin­dungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Se­rang Kota.

Namun hingga kini, proses mediasi yang ditawar­kan pihak sekolah bersama komite dan alumni belum me­nemukan titik temu.

Korban, seorang siswa ber­inisial SH, disebut mengalami penganiayaan oleh sejumlah seniornya usai latihan per­siapan lomba upacara. Keja­dian ber­lang­sung di sebuah bangunan kosong yang berada di samping sekolah. Video peristiwa itu sempat beredar luas di media sosial, memicu keresahan orang tua siswa dan masyarakat.

Ketua Komite SMAN 1 Kota Serang, Muhammad Arif Kir­diat, menegaskan sejak awal pihaknya berupaya mendorong penyelesaian secara keke­luargaan. Ia mengaku sudah membuka komunikasi dengan pihak kepolisian, bahkan sam­pai ke Kapolda Banten.

“Kami sudah membuka ko­mu­nikasi dengan Pak Kapolres, karena atasan langsung Ka­polsek adalah Kapolres. Ak­hirnya Kapolres mendapat informasi utuh terkait hal ini. Maka ketika pertemuan perta­ma di Polres sudah disam­paikan bahwa penyelesaian sebaiknya dilakukan secara mufakat dan musyawarah,” kata Arif kepada wartawan, Selasa (30/9).

Ia menambahkan, beberapa hari setelah kejadian, dirinya sempat bertemu dengan Kapol­da dalam sebuah agenda la­watan. Dalam kesempatan itu, ia kembali menyinggung kasus Paskibra Smansa. Me­nurut Arif, sebelumnya Polres Serang juga berhasil memediasi kasus serupa di salah satu pondok pesantren.

“Sejak awal kami sudah tegaskan bahwa jalan terbaik adalah musyawarah mufakat, karena ini menyangkut proses belajar-mengajar, mentalitas, serta psikologi anak didik. Namun faktanya hingga kini proses mediasi masih belum selesai,” ujarnya.

Arif menjelaskan, mediasi sudah beberapa kali diupaya­kan. Pertemuan pertama dige­lar di sekolah, namun keluarga korban tidak hadir. Upaya kedua dilaksanakan di rumah Dewan Pembina Alumni seka­ligus Komite, Haji Mbai. Lagi-lagi, pihak korban tidak datang.

“Baru setelah kami semua pulang, menjelang tengah malam, Haji Mbai menelpon bahwa keluarga korban datang ke rumahnya. Dari cerita yang disampaikan, orang tua korban bahkan sampai menangis. Na­mun itu masih sebatas per­nyataan sepihak,” terang Arif.

Menurutnya, dari rangkaian upaya yang ada, terlihat ke­luarga korban belum mem­buka ruang pertemuan dengan para pelaku.

“Yang kami tangkap, sejauh ini tidak ada niat baik dari ibu kor­ban untuk diper­temukan dengan para pelaku. Padahal dari pihak pelaku sudah siap hadir, baik di rumah korban maupun di tempat lain,” tambahnya.

Arif mengingatkan, jika ko­mu­nikasi tertutup, kasus ini akan terus bergulir di ruang publik.

“Kalau ruang mediasi ditutup, maka kasus ini akan terus ramai di media sosial. Padahal ini bukan soal indi­vidu, bukan hanya soal Agus, tapi menyangkut nama baik institusi pendidikan dan keber­langsung­an proses belajar,” katanya.

Ia berharap keluarga korban bersedia duduk bersama. Me­nurutnya, polisi, LPSK, mau­pun akademisi hukum juga sudah menyarankan penyele­saian melalui diversi atau restorative justice.

Sumber: