GeNose, Deteksi Covid-19 dalam Waktu 80 Detik

GeNose, Deteksi Covid-19 dalam Waktu 80 Detik

Cara kerja GeNose hasil kolaborasi Dr Kuwat Triyana-dr Dian Nurputra memanfaatkan embusan napas dari orang yang diperiksa. Jika lolos uji diagnostik, dibandingkan dengan rapid test dan swab PCR sebagai pendeteksi Covid-19, alat itu lebih unggul urusan waktu. ZALZILATUL HIKMIA,-Jawa Pos ”WADUH, kurvanya error. Kita harus menelepon Pak Kuwat ini,” kata dr Dian Nurputra kepada salah seorang anggota timnya. Dian panik ketika itu. Mesin tiba-tiba error karena salah pencet layar GeNose. Tapi, mengenangnya kembali sekarang, Dian tak bisa menahan tawa. Sepanjang bercerita kepada Jawa Pos Senin dua lalu (28/9), dokter spesialis anak tersebut tak henti-hentinya tertawa. Mengingat kepanikannya bersama salah seorang anggota timnya kala itu. Menurut Dian yang sejak Maret lalu menjadi kepala satgas Covid-19 di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Polda Jogjakarta, error kala itu terjadi lantaran salah pencet touchscreen mesin. Akibat goggle yang digunakan buram karena berembun. Maklum, Dian dan anggota tim harus menggunakan alat pelindung diri (APD) tiga lapis. Ditambah masker N95, face shield, dan sarung tangan lateks dua lapis. ”Jadi kan puwanas (panas sekali), mengembun, sulit melihat layarnya saat itu. Campur-campur pokoknya,” ujar Dian, lantas tertawa saat mengenang kembali pengalamannya mengambil sampel napas pertama sekitar akhir April lalu. Kepanikan itu mereda ketika pria bernama lengkap Dian Kesumapamudya Nurputra tersebut mendapat bantuan selundupan handphone dari luar ruang isolasi untuk berkonsultasi dengan Kuwat. Sayang, rasa lega itu hanya hitungan detik. Sebab, setelahnya, dia pun kesulitan untuk mengoperasikan telepon genggam yang dibungkus plastik itu. Sarung tangan dua lapis dan plastik tentu menjadi penghalang untuk bisa menekan layar ponsel yang serba-touchscreen. ”Setelah mencetnya agak emm.. Alhamdulillah, bisa nelepon Pak Kuwat, haha,” ungkap Dian, menyebut Kuwat Triyana, seorang peneliti di bidang sensor teknologi, partnernya dalam menciptakan GeNose. GeNose bisa dibilang hasil banting setir dari penelitian E-Nose milik Kuwat Triyana yang sempat mandek. E-Nose semula diperuntukkan mendeteksi tuberkulosis (TB). Akhirnya setting sensornya dimodifikasi dan diganti untuk mendeteksi Covid-19 saat pandemi terjadi. Cara kerja alat itu pun sederhana. Cukup menggunakan embusan napas dari orang yang diperiksa. Hasil keluar dalam waktu 80 detik. ”Dulunya 10 menit, lalu jadi 3 menit. Setelah itu, kami sempurnakan lagi menjadi 80 detik untuk diagnosis dari sistem,” papar pria berkacamata tersebut. Ide Dian tersebut disambut baik oleh Kuwat yang berlatar belakang doktor bidang organic electronic-sensing meski sempat ada kekhawatiran soal sampel. Mengingat sebelumnya, Kuwat pernah menawarkan kepada sejumlah dokter tapi tak bersambut. Alasannya, sulit memeriksa pasien Covid-19 tanpa memiliki laboratorium bio safety level 3 (BSL 3). Saat itu, anggota tim Organic Sensing dan Kepala Lab Fisika Material (Fismatel) FMIPA UGM Dr Ahmad Kusumaatmadja pun bertanya apakah tidak memungkinkan hal semacam itu dites di RS. Dian pun lantas kepikiran menggunakan ruang isolasi di sana. Menurut dia, keamanan ruang isolasi yang disulapnya dari ruang ICU itu sudah setara dengan BSL 3. ”Saya usulkan ke Pak Kuwat, bagaimana kalau kita bikin protokol pengambilan sampel. Mesin nanti di-wrap, kemudian masuk ’’dirawatinapkan” sekaligus di ruang isolasi sehingga bisa langsung dipakai untuk mengambil banyak sampel,” katanya. Keduanya pun lantas menulis proposal pengajuan penelitian ke Komite Etik FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama-sama dengan Ahmad dan dr Saifudin Hakim. Dengan begitu, mereka bisa mendapat ethical clearance (EC) untuk pengambilan sampel. Beruntungnya, proses pengajuan cukup cepat sehingga akhir April mereka sudah bisa melakukan uji profiling. ”Akhir April keluar EC-nya. Lalu, saya masuk ruang isolasi pertama dengan menggunakan APD Hot Wheels. Dibelikan pasien saya pakai uang dari dia jualan Hot Wheels-nya, hehe,” papar alumnus UGM itu. Meski sudah menjadi kepala satgas, pengajuan penelitian Dian sempat diragukan beberapa pihak. Menurut dia, itu wajar. Barang baru, orang pun skeptis. Tapi, Dian tak putus asa. Dia berhasil meyakinkan bahwa dalam penelitian tersebut, dasar biological plausibility-nya (rasional biologis medisnya) dapat dipertanggungjawabkan. APD juga sulit dicari saat itu. Syukur ada bantuan APD untuk pengambilan sampel dari para pengusaha asal Jogja. Setelah itu, jalan mereka juga tak semulus tol Cipali. Mereka sempat kebingungan saat kampus lockdown dan laboratorium untuk membuat mesin GeNose terimbas. Pasalnya, mereka harus bergegas menambah alat. Mereka baru punya satu alat. Sementara itu, untuk uji profiling dibutuhkan lebih banyak alat agar sesi mengajari mesin untuk membedakan pola napas pasien Covid-19 dan orang sehat bisa dilakukan lebih cepat. Bukan cuma itu, di tengah jalan ternyata mereka kekurangan sampel. RS Bhayangkara sempat kosong pasien. Mereka terpaksa putar otak untuk mencari lokasi baru untuk menambah jumlah sampel agar mesin dengan teknologi artificial intelligence (AI) itu bisa lebih pintar. ”Alhamdulillah, akhir Juli dapat di RS Bambanglipuro, Bantul. Kami mengajukan amandemen EC. Dua minggu langsung dapat semua sampelnya,” papar dokter yang juga berpraktik di RSU dr Sardjito, Jogjakarta, tersebut. Namun, dari semua kendala itu, lanjut dia, paling besar soal biaya. Selama empat bulan pertama, mereka harus menguras tabungan sekitar Rp 80 juta dan meminjam Rp 340 jutaan untuk membuat tambahan lima mesin. ”Kalau kata Pak Warek (wakil rektor, Red), Pak Paripurna, sampai disemprot istri, hahaha. Tapi, Alhamdulillah, waktu ada pendanaan baru bantuan operasional dari Direktorat PUI UGM sekitar Rp 120 juta, bisa langsung ganti dana istri yang kepake,” kelakarnya. Pada Juni-Juli, uji profiling berhasil mendapat data yang stabil. Pihaknya berhasil mengumpulkan 615 sampel napas dari 83 pasien, 43 positif dan 40 negatif. Ternyata diketahui lebih lanjut bahwa 43 pasien positif merupakan asimtomatik atau tak bergejala. ”Artinya, alat ini bisa membedakan betul antara positif dan negatif meski pasien asimtomatik,” ungkapnya. Hal itu pun didukung dari hasil analisis profiling GeNose yang menggunakan empat sistem algoritma. Akurasinya di atas 90 persen. Paling stabil dengan deep neural networks (DNN) yang akurasinya 96 persen. Kendati begitu, GeNose masih perlu diuji lebih lanjut, yakni uji diagnostik untuk mengetahui tingkat akurasi yang sesungguhnya. Rencananya, pengujian itu melibatkan sembilan rumah sakit di Jakarta, Jogja, dan Jawa Timur. ”Nanti tes dilakukan secara triple blind,” katanya. Maksud tes secara triple blind itu, setiap pihak yang melakukan tes tersebut terbutakan dan tidak mengetahui pasiennya positif atau tidak, yakni pihak yang mengambil sampel, pihak penguji sampel, dan pihak analisis data. Denga begitu, hasil akhirnya benar-benar objektif. Diprediksi, uji diagnostik bisa selesai dalam waktu dua minggu bila dilakukan secara masif. Jika sukses, alat itu diyakini dapat disandingkan dengan rapid test dan swab PCR dalam hal deteksi Covid-19. Bahkan bisa jadi lebih terdepan untuk urusan waktu karena keduanya memiliki masalah yang sama soal timing. Rapid test hanya bisa mendeteksi infeksi yang terjadi 5–7 hari sebelumnya. Dalam interval tersebut, orang masih bisa pergi ke mana-mana. Tentunya, itu menyulitkan juga dalam hal isolasi pasien sakit. Mengenai kerja mesin tersebut, Ketua Tim Peneliti GeNose Kuwat menambahkan bahwa sebetulnya ketika virus menginfeksi bagian tubuh manusia, secara alamiah akan dihasilkan senyawa volatile organic compounds yang polanya secara spesifik dapat terdeteksi. Dengan demikian, napas yang ditampung dan disambungkan ke mesin langsung dideteksi sensor GeNose. Di situ akan tampak pola yang khas. Pola tersebut yang kemudian dianalisis dengan AI yang telah dibuat olehnya. ”Jadi, pola napas dari yang sehat dan sakit diajarkan ke mesin, mesin mengingat,” jelasnya. Dalam penelitian itu, pihaknya telah menggandeng dan membangun konsorsium dengan lima perusahaan. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab. Misalnya, membuat mesin dan sensor. Persiapan itu memang sudah dilakukan secara matang bersama Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM Hargo Utomo. Mereka pun sudah sangat siap dari sisi link industry. Karena itu, kelak ketika uji diagnostik sukses, proses produksi bisa dimulai pada November 2020. Menurut dia, produksi itulah yang cukup sulit dan butuh waktu. Kendati begitu, mereka berkomitmen bisa menghasilkan 50 ribu alat per bulan. Kerja sama ciamik Dian dan Kuwat tersebut sebetulnya terjalin sejak dua tahun lalu. Keduanya dicomblangkan oleh Hargo. Hasilnya, bersama-sama dengan Ahmad, mereka berhasil menelurkan e-tongue untuk aplikasi medis. Atas inovasi itu, Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro mengatakan akan mendukung penuh. Baik dari sisi pendanaan maupun kebutuhan sampel. Pihaknya akan membuka booth di kementerian sehingga orang bisa menjalani tes itu sekaligus swab. Spesimen swab kemudian dianalisis di laboratorium BPPT. ”Cara deteksi embusan napas sangat tepat karena Covid-19 ini menyerang saluran napas. Kemudian, penggunaan AI juga sangat baik ya,” paparnya. (*/c7/ttg)

Sumber: