SiLPA Pemda di Banten Masih Tinggi
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Serang, Imam Rana.(Aldi Alpian Indra/Tangerang Ekspres)--
TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Belum semua pemerintah daerah (Pemda) di Provinsi Banten mampu menekan bahkan menyerap sisa lebih pembiyaan anggaran (SiLPA). SiLPA yang besar bisa berarti belum optimalnya penggunaan anggaran untuk pembangunan dan pelayanan publik, menunjukkan perlunya peningkatan kualitas perencanaan dan penyerapan anggaran.
SiLPA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 diperkirakan sebesar Rp195,54 miliar.
Gubernur Banten mengatakan, struktur APBD 2026 mencatat defisit Rp57,04 miliar, yaitu selisih antara pendapatan yang diproyeksikan sebesar Rp10,07 triliun dan belanja daerah sebesar Rp10,13 triliun.
Adapun untuk SiLPA mencapai Rp195,54 miliar, dan digunakan untuk pembiayaan defisit APBD 2026, dan pengeluaran Pembiayaan untuk pembayaran cicilan pokok utang kepada PT. SMI yang merupakan BUMN di bawah kewenangan Kementerian Keuangan sebesar Rp138,49 miliar lebih. Pembayaran cicilan ini salah satunya untuk pembangunan Banten Internasional Stadium (BIS).
”Defisiti tersebut ditutup dengan pembiayaan daerah sebesar Rp57,04 miliar,” katanya belum lama ini.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten Rina Dewiyanti mengatakan, SILPA 2025 diperkirakan mencapai Rp195,54 miliar. Jumlah tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, mulai dari pendapatan melampaui target, efisiensi belanja (penghematan), atau ketidakmampuan mencapai target belanja (penyerapan rendah), dan biasanya dikelola serta dimasukkan lagi dalam perencanaan anggaran tahun berikutnya sebagai Saldo Anggaran Lebih (SAL).
Adapun SiLPA tersebut akan digunakan untuk membayar hutang sebesar Rp383 miliar ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang akan dicicil hinggal tahun 2028. Total nominal pinjaman Pemprov Banten ke PT SMI pada saat itu diketahui sebesar Rp830 miliar yang sebagian besarnya dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan Banten International Stadium (BIS).
”Itu kan sisa kami (cicil) sampai 2028, nah untuk 2026 sampai 2026 kita akan membayar Rp138 miliar untuk membayar pokok, kemudian 2028 tinggal sisanya,” ungkapnya.
Rina menuturkan pinjaman itu tidak berbunga karena merupakan pinjaman dari pemerintah pusat untuk pemulihan ekonomi kaena Covid-19 beberapa tahun lalu. Tanpa bunga kan ini pinjaman PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) jadi kami mengeluarkan biaya pokoknya aja,” paparnya.
Sementara, Pemkot Serang memproyeksikan tahun 2025 berada pada kisaran yakni sekitar Rp30 miliar. Proyeksi tersebut disampaikan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Serang, Imam Rana Hardiana, setelah pemerintah daerah merampungkan struktur APBD 2025.
Imam menjelaskan, pada tahun anggaran 2025, Pemkot Serang mematok belanja daerah sebesar Rp1.571.889.469.002, sementara pendapatan daerah diproyeksikan Rp1.553.389.469.002. Selisih tersebut menempatkan APBD 2025 dalam kondisi defisit terencana, namun masih tertutup oleh proyeksi SiLPA tahun berjalan.
“Untuk APBD Kota Serang tahun 2025, kami memproyeksikan SILPA sebesar Rp30 miliar. Angka itu sudah mempertimbangkan efisiensi belanja dan potensi pendapatan yang overtarget,” ujar Imam Rana Hardiana.
Menurut Imam, Pemkot Serang telah melakukan pemetaan sejak triwulan akhir 2024 guna mengidentifikasi program-program yang berpotensi menyumbang SiLPA. Ia menegaskan bahwa pemerintah kota berupaya memastikan SiLPA tidak berasal dari program strategis yang seharusnya tuntas.“Proyeksi awal kami, SILPA 2025 berada pada level wajar. Dominannya berasal dari efisiensi belanja, bukan karena program tidak berjalan. Jadi ini kondisi yang terkendali,” ujar Imam.
Imam menjelaskan bahwa sederet program yang berpotensi menciptakan SILPA adalah kegiatan yang bergantung pada proses lelang atau pekerjaan fisik yang rawan mendapat penyesuaian teknis di lapangan. Meski begitu, ia menegaskan bahwa Pemkot Serang sudah melakukan percepatan sejak awal tahun agar serapan anggaran bisa optimal. “Biasanya yang menyumbang SILPA itu kegiatan fisik dan belanja modal. Kalau ada efisiensi dari hasil lelang, otomatis mengurangi serapan. Tapi itu bukan persoalan buruk, justru menunjukkan efisiensi anggaran,” tambahnya.
Sumber:

