Kekerasan dan Pelecehan di Banten Capai 1.156 Kasus
Ketua Komnas PA Provinsi Banten Hendry Gunawan.(Syirojul Umam/Tangerang Ekspres)--
Terpisah, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi angkat bicara terkait kematian Muhammad Hisyam (13). Hisyam merupakan siswa Kelas 1 SMPN 19 Kota Tangsel yang menjadi korban bullying dan meninggal pada Minggu (16/11) lalu.
Pria yang biasa disapa Kak Seto tersebut mengatakan, kasus bullying sudah sangat mengkhawatirkan dan sudah merajalela. ”Ini semua disebabkan karena pembiaran, tidak ada tindakan dan pencegahan yang tegas dari pihak sekolah untuk mengontrol keamanan anak-anak di sekolah,” ujarnya kepada Tangerang Ekspres, Rabu (19/11).
Kak Seto menambahkan, seharusnya dengan tegas mengatakan sekolah harus bebas dari kekerasan, sekolah harus ramah anak, sekolah harus melindungi anak. ”Juga harus ada satuan tugas (satgas), sehingga anak bisa melaporkan, bukan hanya korban yang melaporkan tapi, temannya juga bisa melaporkan bahwa ini kekerasan terhadap anak,” tambahnya.
Menurutnya, guru-guru juga harus berkata siapapun yang melakukan tindak kekerasan itu akan dikenakan sanksi akademik. Sanksi akademik itu merupakan hasil pembicaraan bersama, artinya anak-anak dilibatkan untuk menyetujui. ”Setuju tidak? Kalau tidak kenapa? Gemana? Ini supaya anak-anak dilibatkan untuk mencegah kekerasan itu. Nah, tindakan tegas ini tidak pernah dilakukan bukan hanya oleh guru tapi, juga oleh komite sekolah,” jelasnya.
Menurutnya, komite sekolah sering mengatakan, tindakan kekerasan yang dilakukan anak-anak merupakan hal bisa lantaran masih anak-anak dan bianya melakukan ejek-ejekan. Kemungkin awalnya hanya ejek-ejekan, bullying secara psikologis dan lama-lama bisa secara fisik dan bila secara fisik bisa menyebabkan luka parah dan bisa saja sampai meninggal dunia.
”Sanksi akademik ini bisa saja parahnya dikeluarkan tapi, bisa dulu dikasih peringatan secara bertahap, diskorsing. Jadi anak-anak juga menilai bila teman yang melakukan kekerasan adalah tindakan yang salah dan tidak benar. Ini sepengetahuan dan persetujuan komite sekolah dan ini keputusan bersama, ini bukan keputusan guru atau sekolah.Jadi ini sesuatu yang demokratis,” ungkapnya.
Pria yang juga sebagai psikolog anak tersebut mengaku, anak yang berhadapan dengan hukum memiliki dasar Undang-Undang sistem peradilan pidana anak. Bagi anak-anak yang berhadapan dengan sanksi hukumnya tetap ada tapi, tetap yang ramah anak.
Ia mencontohkan anak ditempatkan di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) dan dulu bernama lapas anak. Di LPLA berarti anak juga berhak untuk melakukan pendidikan, berhak untuk dikunjungi orangtuanya. ”Semuanya ini bukan untuk menghukum anak tapi, untuk menyadarkan anak, gitu. Jadi tidak serta-merta dia anak-anak pelakunya lalu dibebaskan itu tidak? Jadi dibebaskan juga itu tidak fair, tidak edukasif tapi, juga dibina,” ungkapnya.
Pria kelahiran 28 Agustus 1951 tersebut menuturkan, yang memutuskan korban memiliki riwayat penyakit atau bukan adalah dokter. Dokter harus membuat keterangan resmi penyebab meninggalnya apa. Tapi, apakah juga itu karena anak sangat lemah karena mengandung penyakit, dengan dibully jadi mempercepat meninggalnya.
”Berarti tetap ada unsur bullying, jadi tidak boleh lepas tangan karena sakit tertentu (tumor otak,red). Tumor otak kalau tidak bully mungkin tidak akan terjadi karena, itu sampai kena meja atau kekerasan terhadap kepala,” tuturnya.
Kak Seto mengungkapkan, bullying bisa terjadi karena tidak ada penjelasan dilarang, peringatan dan lainnya dan itu juga harus digencarkan. ”Tanpa kamera pengawas atau CCTV di ruang kelas banyak sekolah-sekolah yang tetap ramah anak karena mereka didik dengan bijak. Juga guru tidak melakukan kekerasan karena, kadang-kadang anak anak menjadi agresif dan membully dan lainnya itu karena anak-anak pelaku itu juga mendapat kekerasan dari guru,” jelasnya.
Ia mencotohkan siswa ketangkap tangan merokok di lingkungan sekolah lalu digampar atau dipukul oleh guru. Hal itu tidak dibenarkan karera setiap tindakan kekerasan terhadap anak itu ada sanksinya dan itu sesuai undang-undang.”Jadi menghukum tidak dengan begitu, kenapa meski memukul. Kalau merokok sanksi dengan tenang, kan itu karena emosi memukul. Guru harus menciptakan suatu sistem dengan cara berdialog dan disetujui. Jadi sanksinya itu yang sudah disetujui bersama, ada tanda tangan dan lainnya. Tapi, jangan pakai kekerasan, wong kekerasan dilarang kok,” tutupnya. (mam-bud)
Sumber:


