"Saya tinggal disini sejak 1992 dan sekolah sudah ada. Tapi, berdasarkan keterangan dari warga, SMAN 3 Tangsel ini dibangun karena persetujuan warga dan dibangun diatas lahan fasum," tuturnya.
Ditempat yang sama, Kepala SMAN Kota Tangsel Aan Sri Analiah mengatakan, aksi tersebut merupakan hak warga sekitar yang mungkin putra-putrinya tidak diterima di SMAN 3 Tangsel. "Tapi, saya kembali ke juknis yang dikeluarkan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2025 dan Pergub Nomor 261 Tentang SPMB di Banten," ujarnya.
Aan menambahkan, selama pelaksanaan SPMB mengacu dalam aturan tersebut dan kebanyakan warga sekitar mendaftar melalui jalur domisili. "Bahwa jalur domisili itu pemeringkatannya ditentunkan oleh nilai raport semester 1-5. Jadi bukan jarak sekolah ke rumah," tambahnya.
Menurutnya, jalur domisili itu bukan hanya warga sekitar tapi, lingkupnya se-Kecamatan Pamulang. Dirinya tidak bisa membuat keputusan tapi, semuanya keputusannya dari pimpinan yakni Dindikbud dan Gubernur Banten.
Wanita berkerudung tersebut mengaku, dengan sistem domisili tersebut walapun sedekat apapun jaraknya yang dilihat utama adalah nilai raport semester 1-5.
Bila nilainya sama maka akan dilihat jaraknya, bila jaraknya yang satu lebih dekat maka punya peluang lebih besar.
"Jika jarak masih sama maka akan diseleksi melalui usia dan itu sudah kami sampaikan kepada masyarakat melalui surat edaran melalui RT dan lurah agar disampaikan ke warga," jelasnya.
Aan mengaku, kewenangan SMAN ada di Provinsi Banten dan sekolah hanya pelaksana SPMB dengan juknis dari sana, sistem dari sana, pengumunan juga dari sistem.
"Aksi dan tuntutan warga ini akan kami sampaikan kepada pimpinan dan apapun hasilnya kami tidak bisa memaksa. Saya harap warga legowo. Besok (Kamis) saya akan ke Serang untuk sampaikan aspirasi warga inu," tutupnya.