Pungutan Siswa Membengkak
CIPUTAT-Bantuan operasional sekolah daerah (Bosda) untuk SMA/SMK negeri di Tangerang, justru menyusut setelah kewenangan pengelolaan sekolah diambil Provinsi Banten. Dinas Pendidikan Provinsi Banten, memukul rata Bosda Rp 900 ribu per siswa/tahun untuk seluruh sekolah. Ini menjadi pukulan bagi sekolah di Kota Tangsel, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Kepala SMA di Kota Tangsel, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, hanya bisa mengelus dada. Di Kota Tangsel, pemkot sudah bertahun-tahun menggelontorkan Bosda Rp 2,7 juta per siswa/tahun. "Jauh banget menyusutnya. Untuk menutupi operasional, dari mana biayanya," kata salah seorang kepala sekolah yang enggan namanya disebutkan. Keluhan-keluhan ini sudah masuk ke Komisi V DPRD Banten yang membidangi pendidikan. Besaran Bosda Rp 900 ribu yang dikucurkan provinsi, memang menjadi berkah bagi sekolah-sekolah di Lebak, dan Pandeglang. Karena, ada kenaikan. Tapi, menjadi pukulan telak bagi sekolah di Tangerang Raya. Menyusutnya besar sekali. "Kami memahami psikologis kepala sekolah di Tangerang. Untuk mengatasi ini, kami akan membuat solusi dengan sistem klaster," kata Ketua Komisi V Fitron Nur Ikhsan, usai bertemu Walikota Tangsel, Selasa (4/18). Fitron tak sendiri. Ia bersama semua anggota Komisi V. Kedatangan mereka bertemu Walikota Airin Rachmi Diany, untuk menampung aspirasi dan menerima keluhan-keluhan tentang kebijakan Bosda ini. Ia memaparkan, sistem klaster ini akan dibawa pada rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan Banten. "Sistem klaster ini, intinya tidak bisa besaran Bosda dipukul rata seperti itu. Dengan Bosda Rp 900 ribu itu, akan membuat pungutan kepada siswa akan besar. Ini pasti memberatkan orangtua siswa," lanjutnya. Fitron akan mendorong Dindik Banten menerapkan sistem klaster, dalam penetapan Bosda mengacu pada standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). "Karena KHL Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangsel, jauh lebih tinggi dibanding kota/kabupaten lain. Tidak mungkin disamakan dengan Lebak dan Pandeglang. Kita akan dorong, Bosda di Tangerang minimal sama dengan Bosda yang mereka terima saat sebelum SMA/SMK dialihkan ke provinsi," ulas politisi partai Golkar ini. Menurutnya, peralihan kewenangan pengelolaan SMA/SMK ke provinsi, agar kualitas pendidikan menjadi lebih baik. “Jangan sampai provinsi punya keinginan sendiri tanpa memikirkan kota/kabupaten. Peraturan yang dibuat itu berangkat dari persoalan yang ada di kota/kabupaten,” terangnya. Ide mendorong kenaikan nilai Bosda untuk kabupaten dan kota di Tangerang ini terkait dengan fakta sebelum SMA/SMK diserahkan ke provinsi. Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany mengatakan, sebelumnya Pemkot Tangsel mengucurkan Bosda sebesar Rp2,7 juta per siswa per tahun untuk SMA/SMK negeri. “Sementara sekarang cuma dapat Rp900 ribu dari provinsi. Bisa dibayangkan, bagaimana gejolaknya nanti saat penerimaan siswa baru,” kata Airin. Sebelum dikelola provinsi, dengan alokasi Bosda sebesar itu, Tangsel juga memangkas kewenangan sekolah memungut dana sumbangan pendidikan yang berlebihan. Nilainya, dibatasi maksimal sebesar Rp 200 ribu per bulan. “Kita juga menghapus uang pangkal. Tapi, dengan Bosda yang sekarang nilainya sekecil itu, bisa jadi pungutan di sekolah akan banyak lagi,” ujarnya. Ketika ini terjadi, maka yang jadi bulan-bulanan warga atas mahalnya biaya sekolah itu adalah Pemkot Tangsel. Warga Tangsel tidak mau tahu siapa yang membuat kebijakan. Mereka pastinya, melayangkan protes ke Pemkot Tangsel. “Warga Tangsel tidak mau tahu siapa gubernurnya, siapa DPRD-nya. Yang mereka tahu, Airin walikotanya. Pasti mereka akan menuntut pada saya,” tuturnya. Airin menambahkan, Pemkot Tangsel terus berusaha meningkatkan pelayanan kepada warga khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Dua bidang itu merupakan program prioritas Kota Tangsel. Anggota Komisi V Tuti Elfita mengungkapkan, keberhasilan Kota Tangsel mengalokasikan dana Bosda sebesar itu dinilai wajar. Sebab, APBD Kota Tangsel cukup besar. Apalagi pengalokasian dana itu hanya untuk penduduk Tangsel. “Kita tahu selama ini masing kota/kabupaten memberi Bosda khusus penduduknya. Sementara Banten, untuk seluruh masyarakat di delapan kabupaten/kota. Sehingga wajar nilainya belum sebesar dari Tangsel,” tuturnya. Untuk itu, wacana membuat klaster Bosda sangat memungkinkan. Dalam rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan nanti, Tuti mengatakan akan memberi rekomendasi agar dibuat kajian yang mendalam terkait pemberian Bosda tersebut. “Sekarang ini dengan APBD Banten sebesar Rp 10 triliun, tidak mudah untuk bisa menggratiskan pendidikan. Makanya bisa saja nanti, yang dari awal Bosdanya sudah besar, bisa diklasterkan,” tuturnya. Setelah dari Kota Tangsel, Komisi V akan menemui Bupati Tangerang dan Walikota Tangerang untuk menampung aspirasi. Komisi V meminta kepada kepala daerah di Tangerang untuk membuat usulan besarnya Bosda. Usulan itu akan menjadi bahan untuk rakor dengan Dindik Banten. (bud/esa/bha)
Sumber: