Perkara Dahlan Dinilai Lebih ke Administratif

Perkara Dahlan Dinilai Lebih ke Administratif

KRIMINALISASI terhadap Dahlan Iskan dalam kasus pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim ternyata berdampak besar. Pengusutan perkara itu menimbulkan ketakutan kalangan profesional untuk mengabdi di BUMN maupun BUMD.

Itulah yang terungkap dalam seminar nasional bertema Mewujudkan Profesionalisme Manajemen BUMD yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerja Sama (PPKK) Fisipol UGM bersama Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia (BKSBUMDSI) di Jogjakarta kemarin. Tampil sebagai pembicara pakar hukum tata negara Refly Harun, mantan penasihat KPK Suwarsono Muhammad, dan dosen Fakultas Hukum UGM Richo Andi Wibowo.

Menurut Refly Harun, dalam penanganan kasus korupsi, penegak hukum seharusnya menemukan terlebih dulu mens rea atau niat jahat pelakunya. Sebab, penanganan kasus korupsi bukan mencari kesalahan seseorang, melainkan kejahatan seseorang.

“Kalau sekadar melakukan kesalahan yang sifatnya administrasi tapi tidak menemukan adanya niat jahat, seharusnya kesalahan tersebut bisa diperbaiki,” kata pria yang mengajar di program pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Itulah yang seharusnya dilakukan penegak hukum dalam memandang permasalahan di BUMN atau BUMD. “Di Indonesia sekarang ini hukum tidak normal. Kalau seseorang tidak ngentit (mencuri, Red) uang sepeser pun semestinya jangan dipenjara,” ujar Refly.

Refly melihat hal itulah yang terjadi pada Dahlan Iskan saat ini. Menurut dia, dalam kasus pelepasan aset PT PWU, jaksa sekadar menemukan indikasi adanya kesalahan prosedur administrasi. Misalnya, benar atau tidaknya ada izin dari DPRD Jatim terkait pelepasan aset PT PWU. Kata Refly, dalam hukum administrasi pemerintahan, yang dipermasalahkan jaksa tersebut sebenarnya bisa diperbaiki.

“Kalau saya ikuti di media, jaksa kok sepertinya belum menemukan mens rea,” ucap pria yang kini juga ditunjuk sebagai komisaris di PT Jasa Marga itu.

Terjadinya dugaan kerugian negara dalam pelepasan aset PT PWU, menurut Refly, semestinya tidak dibebankan kepada Dahlan Iskan. Sebab, kegiatan itu telah disetujui dalam rapat umum pemegang saham (RUPS). “Sebenarnya sudah tidak ada masalah. Tapi, kalau masih dianggap terjadi kerugian negara, ya korporasi yang seharusnya mengganti,” ujarnya.

Refly risau dengan cara pandang jaksa dalam menangani kasus Dahlan. Jika kasus seperti itu dibiarkan, bisa timbul ketakutan di kalangan direksi BUMN atau BUMD lainnya. Kalangan profesional akan takut terjun sebagai direksi BUMN atau BUMD. “Kalau bukan profesional yang masuk, BUMN atau BUMD kita sulit menjadi perusahaan besar,” ujarnya.

Karena itu, Refly berharap Presiden Joko Widodo menunjukkan kekuatannya untuk mencegah terjadinya kriminalisasi. Terutama di BUMN atau BUMD. Sebab, di BUMN dan BUMD memang terdapat celah yang rentan dimanfaatkan penegak hukum.

Celah itu terjadi akibat paradigma yang berbeda dalam menyikapi posisi BUMN dan BUMD. Sebenarnya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya No 62/PUU-XI/2013 telah memberikan penegasan bahwa pemeriksaan keuangan pada BUMN dan BUMD tidak disamakan dengan lembaga dan instansi pemerintah lainnya.

Pemeriksaan keuangan BUMN dan BUMD harus memperhatikan pendekatan business judgement rules (BJR). “Di satu sisi MK mengakui BJR itu. Tapi, siapa yang bisa memastikan kalau direksi yang sudah menjalankan BJR itu tetap aman?” tanyanya. “Presiden Jokowi seharusnya menunjukkan strong-nya. Dalam sistem presidensial, presiden bisa kok melakukan intervensi terhadap proses hukum yang tidak benar,” lanjutnya.

Refly juga menyinggung acquit et de charge (pembebasan atau pelepasan tanggung jawab direksi atau komisaris dari segala pertanggungjawaban yang mungkin masih ditanggung olehnya di kemudian hari). Menurut dia, direksi sebuah BUMN dan BUMD semestinya tidak bisa dipermasalahkan lagi ketika apa yang dilakukan sudah disetujui RUPS dan ada pernyataan acquit et de charge. Tapi kenyataannya, penegak hukum masih sering mempermasalahkannya.

Menurut dia, orang yang melakukan terobosan dan tidak menerima uang seperser pun harus diselamatkan negara. “Apalagi seorang direksi BUMN atau BUMD yang sudah menjalankan tugasnya dengan baik, menerapkan BJR, dan pekerjaannya telah disetujui RUPS,” katanya.

Pembicara lainnya, Suwarsono Muhammad, menambahkan bahwa tidak mudah mengelola sebuah BUMN atau BUMD. Apalagi untuk sebuah perusahaan yang tidak sehat. Diperlukan orang-orang yang punya terobosan. “Mustahil menyehatkan perusahaan daerah dengan cara-cara yang normal. Yang dilakukan Pak Dahlan itu sebenarnya sebuah extraordinary (luar biasa, Red),” ujar mantan penasihat KPK itu.

Menurut Suwarsono, penjualan aset dalam perusahaan yang tidak sehat bisa menjadi sebuah jalan keluar. Sebab, perusahaan yang tidak sehat sangat sulit mendapatkan pinjaman modal dari bank. “Ketika keuangan perusahaan sulit, penjualan aset kadang juga murah karena kan dalam kondisi butuh uang,” kata dosen yang dikenal sebagai ahli penyehatan perusahaan itu.

Pandangan Suwarsono dalam menyikapi korupsi di BUMN dan BUMD senada dengan Refly. Bagi dia, sebuah terobosan yang dilakukan direksi tidak gampang dipidanakan. “Sepanjang tidak ngentit, jangan dipidanakan. Mengelola BUMN atau BUMD itu sulit sekali, banyak jebakan hukumnya,” tegasnya.

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum UGM Richo Andi Wibowo menyatakan, jebakan-jebakan hukum direksi BUMN atau BUMD terjadi karena lemahnya beban pembuktian dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Kelemahan itulah yang menimbulkan celah kriminalisasi terhadap direksi BUMN atau BUMD. Solusinya, pasal 2 dan 3 itu harus kembali diuji atau judicial review (JR). “Jadi, harusnya orang yang dinyatakan korupsi tipe merugikan keuangan negara itu pembuktiannya bukan lagi sekadar memenuhi unsur-unsur di pasal 2 dan 3. Tapi, juga harus dibuktikan apakah orang itu tahu, berniat, dan bertujuan melakukan korupsi,” katanya.

Richo berpandangan, judicial review terhadap pasal 2 dan 3 UU Tipikor memang sudah seharusnya dilakukan. Sebab, menurut peraih gelar doktor dari Utrecht University, Belanda, tersebut, apa yang ada dalam pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak selaras dengan artikel No 18 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). “Padahal kita telah meratifikasi UNCAC atau Konvensi Antikorupsi PBB tersebut,” katanya.

Sekjen Badan Kerja Sama BUMD Seluruh Indonesia Syauqi Suratno mengungkapkan, celah hukum pengelolaan BUMD selama ini memang menimbulkan keresahan. Kondisi itu membuat para profesional takut memimpin BUMD. Kasus yang tengah menimpa Dahlan juga makin membuat para profesional takut masuk ke BUMD. “Saat diminta kepala daerah mencari sosok profesional untuk direksi BUMD, saya sulit sekali mencarinya. Banyak yang takut kesalahannya diarahkan pada tindakan korupsi,” katanya. (jpg/bha)

Sumber: