Petik Untung Lebih Kuat daripada Sentimen Syria

Petik Untung Lebih Kuat daripada Sentimen Syria

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir pekan ini ditutup merah. Pada Jumat (7/4), indeks ditutup di level 5.653,49. Indeks terlihat turun 26,75 poin atau 0,47 persen meninggalkan posisinya yang pecah rekor pada hari sebelumnya (6/4) di level 5.680,24.

Cukup banyak investor yang melakukan aksi ambil untung (profit taking) dan memanfaatkan kenaikan harga saham yang pada pekan lalu naik tinggi. Profit taking terutama dilakukan investor domestik, sedangkan asing masih mencatat net buy Rp 1,36 triliun di seluruh pasar.
Analis Senior Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menyatakan, turunnya indeks lebih dipengaruhi profit taking. Sebab, pekan lalu, belum ada sentimen yang cukup mampu mendorong investor memetik untung.

Sementara itu, faktor global dari serangan AS ke Syria memang menjadi sentimen. Namun, faktor yang lebih kuat masih didominasi profit taking. ‘’Kesempatan orang untuk profit taking baru ada saat muncul berita AS menyerang Syria. Tapi, faktor utamanya masih profit taking,’’ katanya pada Jumat (7/4).

Serangan ke Syria membuat komoditas menjadi primadona dibanding pasar saham. Harga minyak naik karena jalur distribusi minyak terganggu akibat perang di Suriah. Harga minyak WTI sempat menyentuh USD 52,65 per barel, sedangkan minyak Brent USD 54,98 per barel.

Sementara itu, emas sebagai barang safe haven juga diburu dan sempat menyentuh harga USD 1.266,01 per ounce. Menurut Reza, harga emas naik karena ada perpindahan dana dari pasar saham ke safe haven.

Serangan AS ke Syria direspons secara beragam oleh pasar global maupun regional. Bursa Jepang, Nikkei, masih mampu naik 0,36 persen menjadi 18.664,63. Indeks Shanghai Composite juga naik ke 3.286,62. Namun, indeks Hang Seng turun ke 24.267,30. Sementara itu, indeks STI di Singapura naik ke 3.177,27.

Di pasar uang, rupiah kemarin berada di level Rp 13.341, turun tipis dari posisi hari sebelumnya di Rp 13.327. Rupiah sejauh ini stabil di kisaran Rp 13.300.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengungkapkan, BI saat ini menghadapi sejumlah faktor global. Terutama AS yang berencana menormalisasi balance sheet mereka dengan mengurangi surat berharga yang jatuh tempo.

’’Apa dampaknya? Supply dari likuiditas dolar AS di global akan berkurang. Tapi, sesuai dengan statement The Fed, mereka akan melakukannya secara hati-hati dan jangan sampai menimbulkan gejolak,’’ ucapnya. (rin/c23/sof)

Sumber: