Mencopot Menteri dari Partai Politik Berisiko

Mencopot Menteri dari Partai Politik Berisiko

JAKARTA-Reshuffle kabinet jelang tahun politik dinilai penting dilakukan dengan mempertimbangkan aspek stabilitas politik dan kinerja menteri. Karena jika hanya menimbang pada kinerja menteri, dikhawatirkan rehusffle justru menimbulkan kegaduhan. "Saya kira cukup berisiko bagi Presiden Jokowi jika mereshuffle menteri-menteri dari parpol meski kinerjanya di bawah performa memuaskan," ujar pengamat politik Adi Prayitno kepada JPNN.com, Selasa (31/10). Kecuali, menteri yang direshuffle kata Adi, penggantinya juga merupakan tokoh yang memiliki background parpol. Misalnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang merupakan putera Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Kemudian, politikus PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat dan Agustinus Teras Narang. "Reshuffle begini saya kira minim risiko karena ada back-up yang sepadan dari partai politik," ucapnya. Secara pribadi pengajar di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta ini melihat, cukup banyak menteri dari Kabinet Kerja yang layak direshuffle jika alasannya kinerja. "Misalnya Menpora, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Kemudian Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepal Badan Pertanahan Nasional (BPN)," katanya. Adi juga menilai Menteri Perekonomian sejauh ini juga tak mampu mengangkat derajat perekonomian bangsa. Karena itu juga layak untu direshuffle. "Termasuk menteri-menteri yang tak pernah kelihatan kinerjanya juga layak direshuffle," pungkas Adi. Mantan Menkomaritim Rizal Ramli punya saran untuk Jokowi. Menurut Rizal, masa kepemimpinan Jokowi yang tersisa dua tahun lagi butuh terobosan besar. Sehingga bisa keluar dari kelesuan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. "Prestasi Presiden Jokowi dalam bidang inftastruktur luar biasa. Tapi dengan kebijakan pengetatan dan makro ekonomi yang sangat konservatif serta prioritas nomor satu bayar utang, sulit bangkit dalam dua tahun ini," jelas Rizal kepada RMOL.co, Kamis (26/10). Menurut Rizal tidak mudah bagi Jokowi melakukan dua perkerjaan besar sekaligus,meningkatkan gairah ekonomi nasional dan konsolidasi politik sebagai persiapan untuk Pemilu 2019. "Walaupun banyak blowback (tekanan balik) tapi konsolidasi politik nyaris selesai. Namun stagnasi ekonomi akan berlanjut," ujar Rizal Ramli. Dia mempertanyakan apakah di sisa masa pemerintahan, Jokowi akan mempertahankan konservatisme hanya untuk sekadar melindungi status quo penuh kepentingan dan pembawa agenda asing. Atau akan membalikkan keadaan dengan kembali meluruskan dan menegakkan Trisakti dan Nawacita. "Bukan pilihan mudah," kata Rizal. Dia mengatakan, Jokowi perlu jawaban inovatif dalam menghadapi tantangan-tantangan pemerintahan ke depan. Pembuat utang kronik dengan bunga super tinggi tidak mungkin jadi bagian dari solusi. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto membantah pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membicarakan reshuffle kabinet. “Terlalu jauh dimaknakan ke sana,” kata Hasto di markas PDI Perjuangan, Menteng, Jakarta Pusat, pekan lalu. Ia menegaskan, kalau ada keputusan untuk merombak kabinet itu sepenuhnya kewenangan Jokowi. Menurut Hasto, reshuffle sebenarnya untuk melakukan efektivitas kinerja dari pemerintahan. “Pemerintahan ini sudah masuk tiga tahun, dan waktu yang tersisa harus dipakai dengan sebaik-baiknya mempercepat terpenuhinya janji-janji kampanye,” katanya. Namun, Hasto meyakini pertemuan SBY-Jokowi itu tidak membahas reshuffle. “Karena kami tahu bagaimana model pengambilan keputusan dari Pak Jokowi,” katanya. Menurut Hasto, Jokowi selalu mencari momentum yang tepat. Yang jelas, Jokowi terus mengamati kinerja dari setiap anggota kabinetnya itu. “Jadi Pak Jokowi bukan orang yang suka mengumbar rencana strategisnya kepada pihak-pihak lain,” tegasnya. Dia menambahkan, ketika Jokowi merasakan perlu meningkatkan efektivitas dan kinerja pemerintahan, tentu akan mengambil keputusan yang tepat. Pertemuan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Jokowi di Istana Batu Tulis, Bogor, dua pekan lalu, disinyalir membahas reshuffle Kabinet Kerja. Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menyampaikan dugaannya itu cukup berdasar. Istana Batu Tulis merupakan tempat bersejarah bagi Megawati, sehingga tidak mungkin hanya berbicara masalah sepele dengan presiden. Belum lagi momentum merombak kabinet sudah terbentang. "Pertemuan Jokowi dengan Megawati, sinyal reshuffle sudah mulai dekat. Pertemuan di Istana Batu Tulis beberapa waktu lalu bukan tidak mungkin juga ada agenda membahas soal reshuffle," ucap Pangi. Pengamat yang akrab disapa Ipang ini juga melihat ada dua pintu masuk bagi mantan gubernur DKI Jakarta melakukan reshuffle. Pertama adalah wacana mundurnya Menteri Sosial Khofifah Indar Pawaransa untuk maju di Pilgub Jatim. Alasan kedua cukup politis, yakni mengevaluasi posisi Partai Amanat Nasional (PAN) dalam barisan partai pendukung pemerintah yang dikomandoi PDIP. Terbaru, partai pimpinan Zulkifli Hasan menolak menyetujui Perppu Ormas. "PAN dalam koalisi pemerintah seringkali berseberangan dan berbeda pandangan dan kebijakan dengan gerbong koalisi pemerintah. Kurang tertib dan kurang disiplinnya PAN menjadi pintu masuk reshuffle Kabinet Kerja," sebut direktur eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting. (jpnn)

Sumber: