WNI Korban Kerusuhan 1998 Diusir dari AS

WNI Korban Kerusuhan 1998 Diusir dari AS

JAKARTA-Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengusir Warga Negara Indonesia (WNI) korban kerusuhan 1998. Komisi I meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Negeri Paman Sam segera mengambil sikap. Anggota Komisi I DPR Sukamta menilai bahwa kebijakan pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Trump berbeda dengan presiden sebelumnya dalam menangani imigran. Namun hal tersebut harus dihormati, dan yang terkena dampaknya bukan hanya Indonesia, tapi banyak negara lainnya. "Tapi saya percaya praktikya tidak mudah juga, karena biayanya besar sekali. Yang penting memang pemerintah Indonesia, KBRI memberikan advokasi supaya tidak ada WNI yang terlantar," ucap Sukamta menjawab JPNN.com di kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (17/10). Sekretaris Fraksi PKS ini pun meyakini para WNI yang tidak lagi dibolehkan tinggal di AS tersebut, bisa kembali ke Tanah Air. Apalagi situasinya sudah berbeda dengan masa transisi era Reformasi 1998. "Sepanjang dia WNI, bisa lah. Kan sekarang pemerintah sudah beda dengan masa lalu. Silakan kembali ke Indonesia, sepanjang itu tidak kehilangan kewarganegaraan mereka boleh, harus boleh kembali ke Tanah Air," ucap politikus asal Yogyakarta ini. Terkait biaya pemulangan, karena yang yang mengusir adalah pemerintah AS, maka ditanggung oleh pemerintah AS. Pihaknya pesimistis pengusiran ini akan berjalan mulus karena anggarannya tidak sedikit, dan melibatkan warga dari banyak negara. Anggota Komisi I DPR Charles Honoris menilai, langkah Donald Trump mengusir imigran ilegal, termasuk korban 98 yang hijrah ke negeri tersebut, sebuah kemunduran. Tak hanya dari aspek hubungan luar negeri, tapi juga kemunduran dari segi perekonomian. Pasalnya, masalah imigran sampai saat ini masih menjadi persoalan bersama bangsa-bangsa, meski sudah ada berbagai konvensi PBB melalui UNHCR. Selain itu, para imigran juga diketahui sudah menjadi pekerja yang ikut menopang serta perekonomian AS. Bahkan banyak di antara imigran yang kini menduduki posisi-posisi strategis yang sulit digantikan oleh orang lain. "Jadi langkah Donald Trump menurut saya bisa menjadi bumerang bagi stabilitas hubungan luar negeri dan perekonomian AS sendiri," ujar Charles kepada JPNN, Selasa (17/10). Meski demikian, Charles tidak ingin buru-buru menuding Trump telah mengenyampingkan hak asasi manusia terkait kebijakannya tersebut. Pasalnya, meski para WNI tersebut telah tinggal dan bekerja selama belasan tahun di AS, namun kebijakan yang diambil Trump tetap perlu dilihat dari konstitusi dan undang-undang yang berlaku di negara adikuasa tersebut. "Saya kira persoalan itu harus dilihat juga dari konstitusi dan undang-undang yang berlaku di negara yang bersangkutan," pungkas politikus PDI Perjuangan tersebut. (jpnn)

Sumber: