Buronan Kasus Pembobol BNI Rp 1,7 Triliun di Bawa Pulang

Buronan Kasus Pembobol BNI Rp 1,7 Triliun di Bawa Pulang

KOTA TANGERANG-Tersangka pembobolan bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa akhirnya mendarat di VIP terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (9/7) pada pukul 11.00 WIB. Maria merupakan satu dari beberapa tersangka pembobol kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru, melalui kredit fiktif pada tahun 2002 silam. Dalam kasus ini sejumlah petinggi Polri waktu itu ikut terseret. Setelah buron selama 17 tahun, akhirnya Maria berhasil dicokok NCB Interpol Serbia di Bandar Internasional Nikolas Tesla. Maria mendapatkan pengamanan berlapis dari Polresta Bandara Soekarno-Hatta. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly langsung menggelar konferensi pers di bandara. Menurut Yasonna, penangkapan Maria memakan waktu yang panjang untuk bisa di bawa ke Indonesia. Akan tetapi dengan cara persuasif dan intens kepada negara Serbia, akhirnya Maria bisa dilakukan ekstradisi untuk menjalankan hukuman di Indonesia. "Maria ini di tangkap pada 16 Juli 2019 di Bandara Nikola Tesla. Setelah mendapatkan kabar bahwa sudah tertangkap, maka kami segera kirim surat ekstradisi pada 31 Juli 2019 ke Serbia. Setelah melakukan pendekatan yang panjang, akhirnya hari ini (kemarin) bisa kita bawa pulang,"ujarnya. Yasona menuturkan, pemerintah Indonesia dua kali gagal melakukan esktradisi atau pemulangan Maria Pauline Lumowa. Kegagalan tersebut, lantaran belum adanya kerja sama ekstradisi antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia. "Sebelumnya, setelah melarikan diri ke Singapura, kemudian lari ke Belanda. Kita sudah ada upaya hukum juga untuk meminta yang bersangkutan untuk diekstradisi dua kali tetapi tidak berhasil. Akhirnya di Serbia kita bisa pulangkan,"paparnya. Ia mengungkapkan, bakal mendata aset di luar negeri milik buronan negara yang membawa kabur Rp 1,2 triliun. Uang tersebut digunakan Maria untuk memperkaya diri sendiri dan juga untuk kepentingan sendiri. Maka itu sebelum itu semua proses hukum yang dilakukan negara melalui Bareskrim Polri, akan mendata semua aset tersangka. "Semua akan terlacak, akan terlihat ada di mana saja. Tentu kita akan menempuh semua upaya hukum. Kita akan melakukan integelensi stamp, melakukan freeze the asset, kemudian blokir akun, dan lainnya,"ungkap Yasona. Ia menceritakan, banyak negara yang melakukan upaya nakal, agar wanita paruh baya itu tidak bisa dibawa pulang oleh pemerintah Indonesia. Sejak 16 Juli 2019, Maria Pauline ditahan oleh pemerintah Serbia. Banyak negara di Eropa yang ingin membebaskan wanita tersebut. "Seperti, Eropa yang melakukan diplomasi dengan pemerintah Serbia agar Maria tidak diekstradisi ke Indonesia. Lalu, ada juga salah satu pengacara Maria yang mencoba jalur nakal untuk membebaskan Maria dari tahanan Serbia dan ekstradisi Indonesia,"katanya. Kata Yasona, dalam proses penjemputan buronan pembobol BNI ini, juga melalui proses panjang. Mengingat Indonesia belum punya perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Serbia. "Prosesnya cukup panjang, dan kita ikuti itu. Terlebih kita belum punya perjanjian dengan Serbia. Tapi dengan pendekatan dan koordinasi yang baik, akhirnya kita berhasil membawa yang bersangkutan ke Indonesia," tutupnya. Awal mula kasus, Maria dengan 'bendara' PT Gramarindo Group. mendapat pinjaman dari BNI cabang Kebayoran Baru, setara Rp 1,7 triliun pada Oktober 2002. Manajemen BNI Pusat merasakan sesuatu tak beres pada PT Gramarindo Group. Belakangan ketahuan PT Gramarindo memakai LC fiktif. Kasus ini dilaporkan ke Bareskrim Polri. Rekanan Maria, Adrian Waworuntu ditangkap bersama sejumlah pejabat BNI. Adrian divonis pengadilan dengan hukuman penjara seumur hidup. Maria justru kabur saat masih penyidikan. Dalam kasus ini sempat membuat sejumlah petinggi Polri terjerat karena menerima aliran uang. Mantan Kabareskrim Komjen Suyitno Landung, mantan Direktur II Ekonomi Brigjen Samuel Ismoko dan 17 anggota Polri mendapat hukuman disiplin. (ran)

Sumber: