Warga Desa Kandawati Produksi Naget

Warga Desa Kandawati Produksi Naget

GUNUNG KALER -- Siapa yang tak kenal dengan naget? Salah satu makanan cepat saji ini menjadi menu andalan ibu saat terburu-buru menyiapkan sarapan. Tinggal ambil di kulkas dan digoreng sebentar, nagetpun siap disantap. Seiring berjalan waktu, naget tidak lagi menjadi makanan cepat saji yang dihidangkan ibu saat kondisi terburu-buru. Sekarang naget sudah biasa dikonsumsi sebagai menu menyantap nasi pada waktu kapanpun. Bahkan, naget sudah menjadi makanan cemilan bagi anak-anak dimanapun dan kapanpun. Naget mudah ditemui di pasar-pasar tradisonal maupun mini market. Berbagai macam merk naget dapat ditemui. Ada naget yang diproduksi skala pabrik hingga produksi industri rumah tangga ataupun usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Slamet, seorang pemilik rumah produksi naget mengatakan, dia memproduksi naget mencapai 200 bungkus per hari. Dalam satu bungkus berisi 10 sampai 12 potong naget. Memproduksi naget sebanyak itu,masih cukup dibantu istri dan salah seorang anaknya. “Proses produksinya, mulai dari bikin adonan sampai pembungkusan naget,” kata Slamet, di kediamannya sekaligus tempat produksi industri rumah tangga naget, di Kampung Kedung RT 06/02, Desa Kandawati, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang, Jumat (25/10). Lebih lanjut kata Slamet, adonan dibuat dari campuran tepung terigu, tepung sagu, bumbu dapur dan lain-lain. Proses produksi naget mulai dari membuat adonan. Kemudian adonan dicetak sesuai bentuk naget yang biasa ditemui. Setelah itu, naget direbus. “Setelah naget direbus selama beberapa menit, kemudian naget diangkat dan ditaburi tepung roti. Tepung roti inilah yang membuat naget terasa krispi. Terakhir barulah proses pembungkusan,” paparnya. Slamet mengatakan, menjual satu bungkus naget ke pedagang di pasar-pasar tradisional, seharga Rp3.000. Di pasar tradisional, pedagang bisa mengecerkan dengan harga Rp4.000 sampai Rp5.000. “Naget saya tidak pakai gilingan daging ayam atau daging apapun. Sebab, saya menyesuaikan kemampuan daya beli saja. Kalau pakai daging ayam tentu tidak saya jual Rp3.000 per bungkus,” ucapnya. Di tempat yang sama, Ahmad Ibnu Muadz, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kandawati mengatakan, Slamet adalah salah seorang pemilik usaha kecil di desanya. Usaha yang dimiliki Slamet berpotensi untuk membuka lapangan kerja, apabila jumlah produksi naget hingga ribuan bungkus. Sekarang kata Ahmad, Slamet bekerja pagi hingga malam untuk memproduksi 200 bungkus naget. “Produksinya pagi sampai waktu Isya. Setelah itu, Pak Slamet kirim naget ke pasar-pasar tradisional diantaranya, Tigaraksa, Cisoka, Kronjo, Kresek dan Serang,” jelasnya. Menurut Ahmad, sekarang Slamet kesulitan untuk menambah jumlah produksi naget. Sebab, Slamet jarang memiliki waktu untuk memasarkan naget ke tempat-tempat baru. Alasan Slamet pasti karena waktu yang dimiliki Slamet sudah habis untuk proses produksi naget. “Setelah terpilih kepala desa periode 2019 sampai 2025, pemerintah desa harus berperan meningkatkan produksi usaha kecil milik masyarakat. Entah itu melalui badan usaha milik desa (BUMDesa), bantuan modal berwujud peralatan atau bagaimana,” kata Ahmad, saat mendampingi wartawan berkunjung ke kediaman Slamet. Ahmad menuturkan, Slamet buka usaha produksi naget sejak 2005 lalu. Awal Slamet buka produksi naget, setelah tempat kerja Slamet, gulung tikar. “Tempat kerjanya, ya pabrik pembuatan naget. Pabriknya bangkrut karena uang tagihan diselewengkan pekerja bagian penagihan. Itu cerita Pak Slamet,” tuturnya. (zky/mas)

Sumber: