PP Hukum Kebiri Disiapkan, Komnas HAM Mengecam, IDI Tolak Jadi Eksekutor

PP Hukum Kebiri Disiapkan, Komnas HAM Mengecam, IDI Tolak Jadi Eksekutor

JAKARTA -- Pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait hukuman kebiri kimia bagi pelaku pencabulan atau predator anak. Kini PP tersebut sedang dihahas sejumlah instansi pemerintah. "Kami di kementerian lembaga masih membahas terkait PP. Semua terlibat, seperti Kejaksaan Agung, KPPPA, Kementerian Kesehatan dan lainnya," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial Kanya Eka Santi, Selasa (27/8). Dia menjelaskan, dalam rancangannya, PP tersebut lebih detail mengatur tentang pelaksanaan hukuman kebiri terutama penekanan kepada pelaku yang berulang dan mempertimbangkan dampaknya yang berat terhadap anak. Selain itu, juga PP akan mengatur tentang kapan ada pengumuman terkait identitas pelaku dan sebagainya. Kemensos dalam posisi sebagai bagian yang memberikan rehabilitasi sosial kepada anak yang menjadi korban predator seks. "Kami banyak merehabilitasi anak korban kejahatan seksual. Yang kami rasakan memang berat dan proses rehab butuh waktu yang panjang serta upaya khusus agar anak tidak mengalami trauma berat dan berkepanjangan yang buruk akibatnya untuk masa depan mereka," ujar dia. Dia menekankan, pertimbangan sisi kemanusiaan juga perlu memperhatikan anak yang menjadi korban. Eka mengatakan, untuk pelaku atau predator anak, Kemensos menyerahkan penanganannya secara pidana. Sebelumnya, Muh Aris (20) seorang tukang las asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi terpidana pertama yang harus menjalani hukuman kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap sembilan anak. Ia melakukan aksinya sejak tahun 2015 dan baru diringkus polisi pada 26 Oktober 2018. Aris sempat minta banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur karena tidak terima dengan putusan hakim. Namun, oleh hakim PT, putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto justru dikuatkan. Vonis tersebut tertuang dalam Putusan PTSurabaya nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY tanggal 18 Juli 2019. Putusan ini pun dianggap berkekuatan hukum tetap lantaran Aris tak lagi mengajukan keberatan alias kasasi. Terkait dengan hukuman kebiri kimia ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Muh Aris bin Syukur. Komnas HAM juga mendesak Presiden Joko Widodo segera mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. "Kami sudah menolak, jadi kewajiban Presiden (Jokowi) adalah mencabut Perppu tersebut," kata Komisioner Komnas HAM, Mochamad Choirul Anam, di Mapolda Jatim, Senin (26/8). Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak itu ditandatangani Jokowi. Menurutnya, Perppu tersebut tak berpihak pada HAM. Anam mengatakan penolakan terhadap hukuman kebiri ini bukan berarti pihaknya mengabaikan kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Komnas HAM tetap mengecam tindakan tersebut, namun hukuman kebiri itu tidak selayaknya dilimpahkan ke pelaku. Menurutnya, hukuman kebiri tak hanya merendahkan martabat pelaku, tapi juga martabat penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Anam menambahkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah melakukan ratifikasi konvensi antipenyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Hal itu diadopsi dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Sementara itu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia pada tersangka kejahatan seksual. Alasannya, kebiri kimia pada terdakwa bukan bentuk pelayanan medis, bahkan berpotensi terjadi konflik norma. Ketua Umum PB IDI, Daeng M Faqih, mengatakan sikap IDI sudah jelas di diskusi dengan pemangku kepentingan terkait saat membahas Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi undang-undang (UU) dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemensos), hingga Komisi IX tiga tahun lalu. "Saat itu kami mempersilakan kalau mau ada hukuman kebiri kimia, apalagi sudah jadi hukum positif. Tetapi kami minta jangan menunjuk tenaga medis atau tenaga kesehatan sebagai eksekutor," ujarnya seperti dilansir Republika, Selasa (27/8). Ia menyebutkan, IDI punya alasan yaitu pertama, kebiri kimia bukan pelayanan medis melainkan hukuman. Jadi, ia menegaskan ini bukan ranah tenaga medis atau kesehatan. Karena itu, IDI mempersilakan pemerintah menunjuk eksekutor di luar tenaga medis. Apalagi, ia menyebut eksekusi hukuman kebiri kimia tidaklah sulit. Ia menyebutkan jika kebiri kimia dalam bentuk minuman, sang eksekutor dengan mudahnya tinggal memberikannya pada pelaku untuk diminum atau misalnya dalam bentuk suntik juga bisa dilakukan seperti masyarakat awam karena itu tidak sulit. Ia menyontohkan, hukuman suntikan ini sama seperti penderita penyakit diabetes melitus (DM) yang harus suntik insulin atau para pecandu narkoba suntik yang kerap melakukan injeksi. Jadi, ia menegaskan ini perkara yang tidak susah dan tidak usah diperdebatkan. Alasan kedua, ia menyebut eksekusi ini bisa menimbulkan konflik norma yaitu etika kedokteran, perintah organisasi kesehatan dunia (WHO), dan undang-undang (UU) Kesehatan yang melarang melakukan hal ini. Jadi, ia menyebut semua dokter dan tenaga kesehatan sudah memahami konflik norma ini karena sudah diajarkan sejak dulu. Karena itu, ia menyebut IDI tidak membuat surat instruksi kepada para dokter atau tejaga medis mengenai hal ini karena mereka pasti memahami dan menolak melaksanakan hukuman kebiri kimia.(rep)

Sumber: