Kasus Kekerasan Tewasnya Taruna M. Adam, 13 Taruna Akpol Diberhentikan Setelah Dua Tahun
JAKARTA— Komjen Arief Sulistyanto bertindak tegas terhadap 13 taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang terlibat kasus kekerasan. Ke-13 Taruna tersebut diberhentikan setelah dua tahun statusnya tidak kunjung jelas dalam sidang Dewan Akademik Senin (11/2) di Gedung Paramarta komplek Akpol, Semarang. Perlu diketahui 13 taruna tersebut terlibat dalam kekerasan terhadap Taruna II M. Adam. Dalam kekerasan itu Adam meninggal dunia karena memar organ dalam. Ke-13 orang taruna yang diberhentikan yakni, MB, GJN, GCM, RLW, JEDP, RAP, IZPR, PDS, AKU, CAEW, RK, EA dan HA. Karena kasus tersebut terjadi dua tahun lalu, Arief mendorong agar sidang Wanak segera dilaksanakan. Hingga akhirnya Senin lalu sidang tersebut digelar dari pukul 13.30 hingga 23.30 WIB. Sebenarnya ada 14 taruna yang terlibat dalam kekerasan tersebut, namun satu taruna berinisial CAS yang juga pelaku utama telah dikeluarkan dalam sidang sebelumnya. Komjen Arief menjelaskan bahwa sidang tersebut memang harus memutuskan dengan seadil-adilnya sesuai dengan peraturan yang ada. Apalagi, karena permasalahan ini sudah berlangsung lama. ”Maka keputusan ini harus diambil cepat untuk masa depan Akpol dan para taruna yang bermasalah. Hingga bisa melanjutkan ke karier lainnya,” jelasnya. Sidang Wanak tersebut digelar setelah ada keputusan hukum secara tetap, dengan adanya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA)yang menyatakan 13 taruna itu bersalah. ”Anggota polisi tidak boleh pernah melakukan pidana,” paparnya. Arief menjelaskan bahwa dengan pernah melakukan pidana, maka 13 taruna itu tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota kepolisian. ”Saya ingatkan untuk menghentikan kekerasan senior kepada junior di Akpol,” ujarnya. Perilaku kekerasan di Akpol adalah hal yang harus dihilangkan. Dia menuturkan bahwa penindakan tegas akan dilakukan bila kekerasan kembali terjadi. ”Senior itu harus asih, asah dan asuh,” tegasnya. Arief menuturkan, bila Akpol meluluskan taruna yang melakukan kekerasan justru akan merugikan Polri. Sebab, tidak sesuai dengan pola Democratic Policing. ”Negara jelas merugi bila seperti itu,” terangnya kemarin. Sementara Pengamat Kepolisian Moufty Maakarim menuturkan, kekerasan dalam tubuh Akpol memang telah ditindak dengan memberhentikan 13 taruna. Namun perubahan mendasar apakah telah dilakukan. ”Sebab, kekerasan ini sudah terbentuk seakan menjadi budaya,” tuturnya. Budaya kekerasan bisa jadi terbentuk akibat kekerasan dianggap sebagai perwujudan dari kedisiplinan dan membentuk siswa yang tidak cengeng alias tangguh. Namun, antara kekerasan dan kedisiplinan serta membentuk siswa tangguh memiliki jelas memiliki perbedaan. ”Perlu dibuat konsep yang membedakan antara semua itu,” terangnya. Misalnya dengan olah fisik, yang tangguh tentunya yang olah fisiknya paling baik. Bukan yang tahan dalam menghadapi kekerasan. ”Latihan fisik boleh, tapi bukan yang mencederai, itu batasan yang tidak boleh dilampaui,” terangnya dihubungi kemarin. Selanjutnya, pratik penghentian kekerasan. Misalnya, pengelola dan siswa membuat pernyataan tidak melakukan kekerasan dengan sanksi tertentu. ”Maka, semua menyadari kalau dilanggar ada konsekuensinya,” ujarnya. Dia menuturkan, bisa jadi juga budaya kekerasan itu terbentuk akibat seringnya tidak ada proses hukum terhadap pelakunya. Karena itu proses hukum penting dalam menghentikan budaya kekerasan tersebut. ”Sehingga tidak ada legitimasi untuk melakukan kekerasan,” terangnya. (jpg)
Sumber: