Tantangan Media Massa untuk Esok, Kreativitas dan Kualitas Menjadi Kunci

Tantangan Media Massa untuk Esok, Kreativitas dan Kualitas Menjadi Kunci

Menjamurnya media sosial menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan media massa. Media sosial (medsos) unggul dibidang penyebaran dan penciptaan berbagai informasi secara cepat dan masif. Itu karena kelonggaran media sosial dalam memproduksi informasi yang disebar dan dicipta oleh siapa saja. Lantas, bagaimana nasib media massa ke depan ?. Nasib media massa itu didiskusikan dalam memperingati Hari Pers Nasional (HPN) kemarin. Diskusi bertema ”Masa depan media massa, tantangan dan peluangnya” itu dibedah oleh empat pemateri. Yakni CEO Radio Suara Surabaya Errol Jonathan, perwakilan asosiasi televisi swasta Indonesia (ATVSI) Imawan Mashuri, Presiden Komisaris Kumparan Budiono Darsono, dan Pemimpin Redaksi Jawa Pos Abdul Rokhim. Errol mengatakan kemajuan teknologi tidak bisa ditampik. Teknologi harus dilihat sebagai peluang. Media massa sebagai produk bisa terus hidup dengan memanfaatkan berbagai teknologi baru dengan cara berkolaborasi. Media massa tetap bisa eksis jika mampu menciptakan emotional branding pada masyarakat. Media massa harus bisa menciptakan bahwa dirinya dibutuhkan masyarakat. Caranya dengan membangun karakteristik dan konten yang diminati. ”SS itu singkatannya bukan hanya Suara Surabaya. Tapi bisa juga suara sopir,” katanya bekelakar diiringi tepuk tangan dan riuh tawa undangan. Errol pun menyusun beberapa poin agar sebuah perusahaan media massa tetap bisa eksis. Yakni harus melampaui kelaziman, membangun ikatan emosional, menjadi pionir, antisipasi peluang, kemanfaatan publik, mental kewirausahaan, hingga SDM yang bekerja di media massa harus bahagia. Sementara itu, Pemimpin Redaksi Jawa Pos Abdul Rokhim juga menyampaikan kreativitas dan kemampuan adaptasi menjadi salah satu kunci peran media massa tetap eksis. Adaptasi itu bisa dilakukan dengan berbagai cara untuk menyesuaikan perkembangan. Koran Jawa Pos telah mampu mengubah kebiasaan warga Surabaya yang pada tahun 80-an terbiasa membaca koran sore menjadi pagi. Tahun 1997 Jawa Pos mengubah kolom koran dari sembilan menjadi tujuh. Awalnya, membuat bentuk koran lebih kecil itu sempat dicibir oleh banyak kompetitor. Tapi ternyata, semua media cetak terutama koran ternyata mengikuti mengikuti langkah Jawa Pos. Kedekatan dengan pembaca juga menjadi ciri yang dipertahankan Jawa Pos. Salah satunya dengan tidak sekadar menyediakan informasi lokal, namun juga hiperlokal. Seperti halaman metropolis yang dikhususkan untuk warga Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. ”Di Surabaya, masing-masing wilayah kami sediakan halaman khusus,” jelasnya. Presiden Komisaris Kumparan Budiono Darsono menjelaskan mengenai perubahan yang dilakukan media massa internasional agar bisa bertahan dan berkembang. Salah satunya dengan konvergensi antara cetak dan online. The New York Times semisal. Dari segi cetak, koran yang terbit 18 September 1851 itu menurun. Namun, langganan versi digitalnya beberapa tahun terakhir terus naik. Hal tersebut juga ditemui di majalah The Economist. Yang juga mengalami penurunan cetak, tapi naik dari segi digital. Bertahan dan mampu berkembangnya dua perusahaan media massa asing itu, kata Budiono tidak terlepas sikap yang mereka pegang teguh. Salah satunya menyediakan produk jurnalistik yang berkualitas. Imawan Mashuri mencoba merangkum beberapa solusi yang bisa ditawarkan mengenai nasib media massa ke depan. Menurutnya, media massa harus mampu memberikan informasi apa yang dibutuhkan masyarakat. Agar mampu eksis di setiap perubahan zaman itu, kreativitas menjadi kunci media massa untuk tetap bisa bertahan. (elo)

Sumber: