JAKARTA-Tim Siber Polri dan Kemenkomifo menjelaskan latar belakang pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. Alasannya, lantaran banyaknya konten provokatif yang masih disebar. Mereka mencatat sekitar 32 ribu konten provokatif dan hoaks terkait situasi di Papua dan Papua Barat dihapus paksa dari hasil patroli dunia maya gabungan. Juga tercatat 1.700-an akun media sosial yang menjadi penyebar konten-konten negatif. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengatakan pembatasan layanan internet tidak terlepas dari masifnya penyebaran berita bernada provokatif selama lebih dari sepekan terakhir. "Internet digunakan oleh beberapa pihak tertentu untuk melakukan penyebaran berita-berita yang provokatif dan hoaks. Contohnya, ada gambar seorang adik mahasiswa Papua yang meninggal dibunuh dalam peristiwa di Surabaya dan Malang. Padahal peristiwa itu tidak ada. Gambar-gambar itulah yang mempengaruhi dan memprovokasi masyarakat," kata Kapolri di Timika, kemarin. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, Kapolri menegaskan, langkah yang ditempuh jajarannya yaitu melakukan klarifikasi. Namun kadangkala klarifikasi yang dilakukan tersebut tidak efektif. Bahkan tidak dibaca dan mungkin juga tidak sampai ke warga yang telah telanjur menerima informasi hoaks. "Cara lain yang dilakukan yaitu bukan mematikan jaringan internetnya tetapi melakukan slow down terhadap gambar dan video," jelas Jenderal Tito. Kapolri meyakinkan warga Papua bahwa layanan internet di Papua akan kembali dinormalkan ketika konten berita dan informasi negatif yang disebar berkurang intensitasnya. "Kapan ini selesai? Ketika kita menilai bahwa upaya untuk melakukan provokasi dan mengeksploitasi konten-konten yang negatif ini jauh berkurang," jelas Kapolri. Mabes Polri sendiri memiliki personel intelijen media yang ditugaskan menilai isi tayangan berita, gambar maupun video yang diunggah ke publik. "Tentu kami akan sampaikan jika kondisinya sudah memungkinkan sehingga bisa dilakukan normalisasi kembali. Kami harapkan itu dilakukan secepat mungkin," katanya Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, tim siber gabungan melakukan patroli selama hampir dua pekan sejak 24 Agustus lalu. Laporan sementara sampai 27 Agustus, kata dia, tercatat penyebaran konten yang dianggap provokatif dan hoaks terkait Papua dan Papua Barat, paling banyak beredar lewat jejaring medsos Facebook dan Twitter. Sekitar 70 persen, kata Dedi, penyebaran konten provokatif dan hoaks, dilakukan lewat dua jejaring media tersebut. Instagram, jelas Dedi, menjadi media sosial yang paling sedikit dalam penyebaran konten-konten negatif. “Konten-konten dan akun ini kita ajukan untuk di-takedown (dihapus atau dibekukan),” kata Dedi. Ia menjelaskan, ribuan akun dan konten negatif yang dianggap provokatif dan hoaks itu berhasil diidentifikasi berada di dalam dan luar negeri. Tujuan dan motivasi para pemilik akun dalam penyebaran kabar dan informasi negatif itu, menurut Dedi sama. Yakni, untuk membuat situasi sosial dan keamanan di Papua dan Papua Barat semakin bertensi tinggi. Padahal, kata Dedi sebaliknya, sampai Rabu (28/8), situasi keamanan dan lingkungan di provinsi paling timur Indonesia itu berangsur kondusif. Masyarakat di Bumi Cenderawasih, kata dia, sudah melakukan aktivitas yang normal. “Yang paling penting, situasi dan keamanan di Papua dan Papua Barat, sudah kondusif,” ujar dia. Kanal Youtube yang menyediakan durasi video bergambar lebih panjang, juga dikatakan marak dijadikan laman penyebar informasi yang dianggap bohong dan provokatif. Kominfo mengungkapkan bahwa pemblokiran internet terpaksa dilakukan karena pembatasan fitur media sosial tidak bisa dilakukan secara regional. "Karena teknologinya, pembatasan fitur terhadap media sosial tidak bisa dilakukan secara regional," ujar Dirjen Aptika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerepan, ketika ditemui wartawan usai bertemu Ombudsman RI, Rabu (28/8/), di Jakarta. Senada dengan Semuel, anggota Ombudsman RI, Alvin Lie menerangkan teknologi yang ada saat ini juga belum mampu membatasi akses media sosial. Hanya terbatas secara regional, yakni di wilayah Papua dan Papua Barat. "Misalnya suatu platform media sosial, kalau dibatasi hanya untuk Papua itu belum bisa. Kalau dibatasi ya seluruh Indonesia terbatasi," terangnya. Soal kondisi internet di tanah Papua saat ini, masih ada sebaran konten yang berupaya memprovokasi atau mengadu domba masyarakat. Untuk itu, proses normalisasi belum bisa dilakukan dan menunggu keputusan dari para pemangku kebijakan lainnya. Bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Siber Sandi Negara (BSSN), patroli dunia maya mencatat ada sekitar 1.700-an akun media sosial yang menjadi penyebar konten-konten negatif tersebut. Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, tim siber gabungan melakukan patroli selama hampir dua pekan sejak 24 Agustus lalu. Laporan sementara sampai 27 Agustus, kata dia, tercatat penyebaran konten yang dianggap provokatif dan hoaks terkait Papua dan Papua Barat, paling banyak beredar lewat jejaring medsos Facebook dan Twitter. Sekitar 70 persen, kata Dedi, penyebaran konten yang dianggap provokatif dan hoaks, dilakukan lewat dua jejaring media tersebut. Kanal Youtube yang menyediakan durasi video bergambar lebih panjang, juga dikatakan marak dijadikan laman penyebar informasi yang dianggap bohong dan provokatif tersebut.(skw)
Alasan Internet Papua Diblokir Masif Konten Provokatif
Kamis 29-08-2019,07:04 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :