Lima Persen Dana Desa untuk Operasional Pemdes

Lima Persen Dana Desa untuk Operasional Pemdes

JAKARTA – Pemerintah bakal menganggarkan setidaknya lima persen dari anggaran desa untuk operasional pemerintah desa (pemdes). Diharapkan dengan dana tersebut tidak ada lagi alasan alokasi dana desa (ADD) disalahgunakan untuk operasional aparat desa. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuturkan anggaran operasional dana desa itu sudah diusulkan kepada kementerian keuangan. Jumlahnya sekitar 5 persen dari anggaran desa. Dana tersebut terpisah dari dana desa yang diterima oleh pemdes. ”Mudah-mudahan (realisasi dana operasional desa, Red) tahun ini,” ujar Tjahjo usai arpat koordinasi nasional dan evaluasi dana desa di Hotel Sultan, Jakarta, kemarin (14/11). Dana tersebut diberikan untuk sosialisasi ke pada masyarakat hingga mengkoordinasikan penggunaan dana desa. Sehingga lurah dan aparat desa tidak mengambil dana desa untuk keperluan mereka sendiri. ”Makanya kami usulkan ada anggaran untuk kepala desa dan perangkat desa sendiri. jangan sampai gunakan anggaran desa ini implikasinya nanti ini temuan BPK, inspektorat, kejaksaan, dan lain sebagainya,” ungkap dia. Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan pengawasan dana desa itu dilakukan oleh aparat di atasnya mulai dari kecamatan hingga kabupaten. Bahkan, menurut JK, inspektorat di kabupaten juga perlu turun tangan dalam pengawasan. ”Tidak berarti hanya menyerahkan uang tapi juga karena ini masuk APBD kabupaten jadi harus diawasi oleh inspektorat kabupaten,” ujar JK usai rapat koordinasi nasional dan evaluasi dana desa di hotel Sultan, Jakarta, kemarin (14/11). Aparat penegak hukum juga turut mengawasi mulai dari kepolisian hingga kejaksaan. Sedangkan KPK tentu tidak mungkin mengawasi sekitar 75 ribu desa lantaran jumlah personilnya yang terbatas. Yang lebih efektif menurut dia warga desa yang turut mengawasi penggunaan dana tersebut. ”Memang harus gotong royong dan desa sendiri, rakyat sendiri, juga harus mengawasi kenapa dia punya perencananaan itu juga diketahui masyarakat. Lewat sistem yang ada musyawarah desa dan sebagainya,” kata dia. Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Eko Putro Sandjojo menuturkan pemerintah desa memang tidak memiliki perangkat selengkap di kabupaten. Misalnya inspektorat, badan perencanaan daerah, atau dinas-dinas. Sehingga terkadang untuk perencanaan dan penganggaran tidak bisa betul-betul rapi dalam penanggungjawabannya. ”Sehingga banyak kasus-kasus yang sebetulnya bukan tindakan korupsi. Tapi menjadi masalah diawal-awalnya,” ujar dia. Dia mencontohkan kepala desa diminta membuat perencanaan pembangunan jalan 100 meter dianggarkan Rp 10 juta. Tapi, karena tidak lengkap dan detail maka dana yang dihabiskan membengkak dua kali lipat. ”Ini menghambat hingga pencairan dana desa berikutnya,” tutur dia. Selain itu juga ada kewajiban desa untuk membayar pajak. Tapi, toko-toko di desa ternyata tidak ada yang mengeluarkan faktur pajak. Sehingga aparat desa membuat faktur sendiri. ”ini di awalnya bisa menjadi masalah-masalah di ranah hukum,” ungkap dia. Tapi, setelah disepakati ada pendampingan dan pengawasan diperketat dengan kerjasama polisi, kejaksaan, dan kemendagri maka pengelolaan dana desa jadi lebih baik. Sistem pun diperbaiki seperti pelaporan online yang menjadi lebih mudah. (jun)

Sumber: