Ketika Murai Batu, Cucak Hijau, dan Jalak Suren Masuk Satwa Dilindungi

Ketika Murai Batu, Cucak Hijau, dan Jalak Suren Masuk Satwa Dilindungi

Niatnya baik: melindungi burung dari kepunahan. Namun, tanpa sosialisasi yang masif serta diterapkan secara kaku, peraturan baru tentang satwa dilindungi mengancam ekonomi dan kehidupan ribuan, bahkan jutaan orang. Marjuki harus menelan ludahnya yang sudah terasa pahit. Uang Rp 12 juta yang masuk ke rekeningnya urung menjadi miliknya. Dia harus mengembalikannya ke konsumennya. Dua burung, murai batu dan cucak hijau, pesanan konsumennya gagal dikirim. Padahal, harganya sudah disepakati. Uang pembayaran juga telah ditransfer. Namun, saat tiba mengirimnya ke Jakarta, Marjuki menghadapi kendala. Pria 43 tahun itu ditolak mengirim lewat bandara. Ketika pindah ke stasiun, dia mengalami penolakan serupa. “Peristiwanya dua minggu lalu,” kata penjual burung asal Surabaya tersebut Jumat (31/8). Kejadian itu kali pertama dialami. Sebelumnya, selama bertahun-tahun Marjuki tidak pernah menemui persoalan seperti itu. Dia selalu lancar mengirim burung-burung pesanan konsumennya. Ke mana saja. Lewat mana saja. “Aturan baru ini benar-benar meresahkan dan menyulitkan,” ungkapnya. Aturan baru yang dimaksud Marjuki adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018. Peraturan yang diterbitkan pada 29 Juni 2018 itu mengatur tumbuhan dan satwa dilindungi di Indonesia. Terdapat 919 jenis tumbuhan dan satwa dilindungi. Dari jumlah itu, 562 di antaranya merupakan jenis burung. Nah, dalam daftar tersebut, ada burung-burung yang selama ini banyak dijual di pasaran. Juga, dipelihara masyarakat. Antara lain, murai batu, jalak suren, pleci, cucak hijau, cucak rawa, kenari, dan anis kembang. Peraturan baru itu pun langsung menerbitkan keresahan. Apalagi, peraturan tersebut menyebar tanpa sosialisasi dari pemerintah. Melainkan dari mulut ke mulut. Dari media sosial ke media sosial. Tentu, ada banyak bumbu di sana-sini. Distorsi informasi pun tak terelakkan. “Jadi, sekarang banyak yang takut membeli burung,” kata Candra, sesepuh Paguyuban Pedagang Pasar Burung Surabaya. Pasar burung pun sepi. Tidak banyak yang mampir. “Kalau seperti ini kan sama artinya peraturan ini mematikan ekonomi banyak orang,’’ tutur Candra yang juga sesepuh Pelestari Burung Indonesia (PBI). Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018 disebut bisa membuat dapur ribuan orang tidak mengepul lagi. Dapur itu bukan hanya milik penjual burung. Melainkan juga penangkar burung, peternak pakan burung, penjual pakan burung, serta yang bergelut dengan sangkar burung. “Burung ini menghidupi banyak orang. Kami sudah lama hidup di sini tanpa masalah. Turunlah ke bawah, jangan asal membuat aturan,’’ ucap Candra. Burung memang tidak hanya tentang burung. Tetapi juga ada peternak ulat, jangkrik, dan semut rangrang yang menghasilkan kroto. Ada pula pembuat dan pedagang sangkar. Permen LHK 20/2018 turut memukul mereka. “Biasanya sehari kami bisa menjual 2–3 sangkar. Sekarang tiga hari belum tentu ada yang beli,” ungkap Wariyo, penjual sangkar burung asal Nganjuk, Jawa Timur. Jawa Pos bertemu dengan pria 47 itu di Pasar Burung Bratang Jumat (31/8). Wariyo menyebut koleganya, yakni para perajin sangkar burung di Balongpanggang (Gresik) dan Malang, pun resah dengan terbitnya peraturan baru tersebut. Keresahan itu hari-hari ini menyeruak di mana-mana. Di seantero Indonesia. Tidak hanya menyergap mereka yang bergelut dengan penjualan burung, pakan, dan sangkar. Tetapi juga masyarakat yang memelihara burung. Mereka cemas dengan konsekuensi hukum yang timbul dari Permen LHK 20/2018. Jika diterapkan secara kaku, mereka yang memelihara burung dilindungi bisa diseret ke penjara. “Ini yang membuat saya dan banyak teman takut. Meski kami sudah lama memelihara burung-burung ini,” papar Sugeng Hariyadi, seorang pencinta burung. Yang mencintai serta memelihara burung berjumlah jutaan. Yang memelihara pun datang dari berbagai kalangan. Mulai pejabat, aparat penegak hukum, wiraswasta, sampai petani. Di setiap kota selalu ada komunitasnya. Saking banyaknya pencintanya, setiap akhir pekan selalu ada perlombaan burung berkicau. Perlombaan-perlombaan itu tidak pernah sepi. “Kalau aturan ini digebyah uya (dipukul rata, Red), penjara akan penuh. Karena itu, pemerintah harus bijak. Juga, tegas terhadap oknum di dalam yang memanfaatkan aturan ini,” kata Candra. Bagi Candra dan koleganya di Pelestari Burung Indonesia, mereka sepakat bahwa burung-burung harus dilindungi. Langkah itu bertujuan untuk mencegah kepunahan. “Namun, aturan itu diberlakukan untuk burung yang ada di hutan. Bukan hasil penangkaran,” tuturnya. (jpg)

Sumber: