Jam Istirahat Rawan Terjadi Kecurangan
SERANG - Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Serang meminta kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) agar tidak meninggalkan Tempat Pemungutan Suara (TPS), khususnya pada saat jam istirahat. Pasalnya, pada waktu istirahat tersebut berpotensi terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh tim pasangan calon (paslon) untuk merubah data. “Jam istirahat merupakan waktu rawan terjadi kecurangan. Karena itu saat jam istirahat baik anggota KPPS, saksi pasangan calon dan penagawas pemilu diminta tidak meninggalkan TPS,” ungkap Rudi Hartono, Ketua Panwaslu Kota Serang usai kegiatan simulasi pemungutan dan penghitungan suara yang diselenggarakan oleh KPU Kota Serang di Alun-alun Barat Kota Serang, Senin (14/5). Dijelaskan Rudi, jam istirahat rawan terjadi kecurangan, saksi dari tiga pasangan calon sudah mulai lelah dan lapar, sehingga konsentrasi sudah mulai menurun karena pada saat yang sama juga masuk waktu salat. “Tidak menutup kemungkinan dengan kondisi itu mereka (KPPS) istirahat dulu dan meninggalkan TPS. Bila kosong maka bisa terjadi kecurangan, misalkan dengan mengubah coblosan surat suara yang dilakukan salah satu tim paslon,” paparnya. Maka dari itu kata Rudi, panwaslu menegaskan TPS tidak boleh kosong, jika pas waktu makan siang makan di TPS, sedangkan untuk salat bisa dilakukan secara bergantian. Dengan begitu, bisa menekan bahkan menutup celah oknum yang hendak melakukan kecurangan pada waktu pencoblosan. Di tempat yang sama, Ketua KPU Kota Serang Heri Wahidin mengatakan bahwa tujuan simulasi ini, KPU ingin melihat kesiapan dan pemahaman anggota KPPS terkait tata cara pencoblosan dan penghitungan. Dengan simulasi ini bila ada kesalahan maka bisa menjadi evaluasi perbaikan ketika saat pelaksanaan 27 Juni nanti. Selain itu KPU juga ingin melihat pemahaman ketujuh anggota KPPS karena setiap anggota KPPS memiliki tugas dan fungsi berbeda. “Dalam simulasi ini KPU menggunakan 250 surat suara. Kami ingin tidak ada surat suara yang dinyatakan tidak sah oleh KPPS,” katanya. Setidaknya kata Heri ada tiga penyebab mengapa surat suara dinyatakan tidak sah. Pertama, surat suara tidak ditandatangani oleh KPPS. Kedua, surat suara tercoblos di dua kolom yang berbeda. Ketiga, ada coretan tangan di surat suara. Heri juga mengingatkan pemilih hanya boleh nyoblos bila ia membawa KTP elektronik atau surat keterangan meski namanya sudah ada dalam daftar pemilih tetap. Sebaliknya pemilih yang meski namanya tidak ada dalam DPT namun membawa KTP elektronik atau surat keterangan tetap bisa nyoblos. “Maka dari itu petugas KPPS harus paham dan tegas menghadi segala kemungkinan,” katanya. (and/ang)
Sumber: