Suami, Istri dan 4 Anak Pelaku Bom Bunuh diri
Setelah luput dari dua kali plot teror, Surabaya kemarin menjadi korban aksi terorisme. Yang membuat geleng-geleng kepala, pelakunya adalah satu keluarga penuh. Termasuk tiga anak di bawah umur yang berusia 16, 12, dan 8 tahun. Juga, satu pemuda berusia 18 tahun. Polisi yakin keluarga itu hanya pengantin. Masih ada perancang bom dan otak serangan yang masih diburu. Perancang bom tersebut patut dicari. Sebab, rancangannya jauh lebih baik ketimbang yang pernah dipakai dalam serangan teror dalam waktu sepuluh tahun terakhir. Kepastian soal identitas pelaku disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di RS Bhayangkara kemarin. “Satu keluarga. Bapaknya bernama Dita Oeprianto,” katanya. Menurut Tito, Dita adalah ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya. “Dita ini otaknya, yang mengorbankan istri dan empat anaknya sekaligus,” imbuh orang nomor satu di jajaran kepolisian tersebut. Hasil rekonstruksi kejadian menunjukkan cerita yang cukup sulit dipercaya. Dari rumahnya di Wonorejo, keluarga itu berpisah dengan dua kendaraan. Awalnya, mobil Avanza yang dinaiki Dita bersama sang istri Puji Kuswati dan dua anaknya yang paling kecil, berusia 8 dan 12 tahun. Sementara itu, kendaraan satu lagi adalah sepeda motor yang dikendarai anak pertamanya, Yusuf Fadhil (18); dan Firman Halim (16). “Yang sepeda motor langsung mengarah ke Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB) di Ngagel,” lanjut Tito. Cerita selanjutnya terlihat dalam rekaman CCTV yang viral. Yusuf langsung mengarahkan sepeda motornya masuk ke tempat parkir gereja yang sedang lumayan ramai orang beribadah. Bom pangku yang dipegang Firman pun meledak. Khoiruddin, saksi di SMTB, mengungkapkan bahwa ledakan yang terjadi berdentum keras. Getarannya juga kuat. Bahkan, mengakibatkan kerusakan di sejumlah atap warung miliknya. “Itu lihat, ambrol plafonnya,” kata dia sambil menunjuk plafon di sisi selatan warung miliknya. Warung milik pria yang akrab dipanggil Udin itu berlokasi hanya sekitar 100 meter dari titik pengeboman. Persisnya di sebelah barat pos sekuriti yang hancur lebur. Saat terjadi ledakan, dia gemetar. Karena itu, dia memilih tak menolong para korban. Yang dia lakukan hanya berteriak dan berjalan di sekitar warung miliknya. “Nggak berani saya,” ujarnya. Di bagian lain, Dita mengendarai mobil Toyota Avanza hitam bersama Puji, Fadhila, dan Famela. Mereka menyusuri Jalan Diponegoro. Dita lantas menurunkan anak dan istrinya di dekat GKI. Terjadilah pengeboman sekitar pukul 07.30, dengan cara yang cukup dramatis dan sempat terekam CCTV. Begitu memasuki halaman GKI, tiga pelaku dihadang seorang petugas keamanan. Satpam yang kemudian diketahui bernama Yesaya itu menarik pelaku yang paling dewasa. Mengetahui hal tersebut, pelaku sontak mengaktifkan dua bom yang diletakkan di perut dua anak itu. Bom pertama meledak di anak paling tua. Menyusul, ke anak terakhir yang dibawa pelaku paling dewasa tersebut. Untung, aksi Yesaya berhasil menggagalkan pengaktifan bom yang berada di perut pelaku yang paling dewasa. Namun, pelaku paling dewasa juga meninggal akibat pengeboman yang dilakukan. Sebab, dia terkena serpihan bom yang diaktifkan sebelumnya. Sementara itu, keadaan Yesaya kritis. Dia langsung dilarikan ke rumah sakit. Satu bom yang lain kemudian di-disposal petugas Gegana. Seorang jemaat GKI Diponegoro Izak Rahayaan mengisahkan, ledakan pertama terjadi lima menit sebelum kebaktian dimulai. Saat itu ruang jemaat sudah hampir penuh. Beberapa jemaat yang datang juga telah khusyuk berdoa. Kebaktian sesi kedua dimulai tepat pukul 08.00 WIB. “Namun, setelah itu berubah menjadi kepanikan saat ledakan pertama terdengar,” jelasnya. Izak yang saat itu duduk di bangku bagian belakang mendengar cukup kencang suara ledakan. Selang satu menit setelah ledakan pertama, ledakan kedua terdengar. “Tapi, suaranya masih kencang ledakan pertama,” jelasnya. Setelah ledakan kedua terjadi, banyak jemaat yang sudah ada di dalam ruangan yang berhamburan keluar. Saat jemaat berhamburan keluar, ledakan ketiga terjadi. Suaranya tidak kencang. Izak mengetahui sendiri ledakan itu. Yakni, saat dia keluar dari area dalam gereja. Ledakan tersebut berasal dari salah seorang yang sebelumnya tertelungkup di area parkir. “Meledak. Dumm, begitu. Suaranya kencang sekali,” terang lelaki asal Ambon tersebut. Setelah tahu ada ledakan susulan, Izak meminta jemaat agar kembali masuk ke area gereja. Ajakan untuk kembali ke area dalam gereja itu dilakukan Izak dengan harapan jemaat bisa selamat. Suara keras ledakan di GKI Diponegoro itu juga disampaikan Joko. Saat ledakan pertama dan kedua, dia berada di kantin gereja. Sekitar 50 meter dari titik ledakan. Meski begitu, dia sempat merasakan telinganya berdenging. Dia pun penasaran dan langsung menuju ke arah asal ledakan. “Saya penasaran. Karena setelah ledakan, ada bau sangat menyengat. Seperti mesiu,” terang karyawan swasta itu. Setelah sampai ke tempat parkir, Joko cukup shock ketika melihat banyak korban. Ada sekitar empat yang dia lihat. Seorang di antaranya petugas sekuriti gereja bernama Yesaya. “Bapaknya teriak minta tolong terus. Tapi, saya tidak berani menolong. Wajahnya sudah berlumur darah,” jelasnya. Dia pun meminta bantuan beberapa orang untuk mengevakuasi petugas keamanan itu. Di bagian lain, Dita meledakkan diri di Gereja Pusat Pantekosta Surabaya (GPPS) pukul 07.53 dari dalam mobil. Dia mengendarai mobil dan merangsek masuk ke GPPS. Mobil itu lantas menabrak petugas sekuriti dan meledak. Berbagai tokoh pun datang untuk memantau TKP. Sebenarnya, identifikasi sudah selesai sekitar pukul 12.00. Namun, polisi sama sekali belum memindahkan jenazah pelaku. Sebab, mereka menunggu kunjungan presiden, Kapolri, Kapolrestabes, dan wali kota Surabaya. Mereka datang secara bergantian. Yang pertama Wali Kota Tri Rismaharini. Dia datang ke lokasi pada pukul 12.44. Dia datang dengan menaiki mobil boks milik satpol PP. Diikuti Kapolrestabes Surabaya Kombespol Rudi Setiawan yang datang pada pukul 13.00. Dengan mengenakan rompi hitam, dia dan wali kota melakukan olah TKP. Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian datang 16 menit setelah Rudi. Dia di lokasi tidak sampai sepuluh menit. Lalu, memutuskan menuju ke TKP gereja di Ngagel. Presiden Joko Widodo datang agak lebih sore. Sekitar pukul 16.00. Persis sebagaimana Tito, Jokowi langsung pergi setelah hampir 15 menit berselang. Polisi sengaja memasang perimeter untuk menghalau siapa pun yang tidak berkepentingan. Termasuk awak media. Awalnya, perimeter hanya dipasang di dekat TKP. Hingga pada pukul 12.00, perimeter pun ditambah hingga di kompleks Restoran Mahameru. Yang terakhir, sampai di Patung Kuda di Jalan Diponegoro. “Saya mohon pengertian seluruh warga dan rekan untuk tidak memasuki perimeter yang sudah kami pasang,” ujar Kapolsek Tegalsari Kompol David Triyo Prasojo di pengeras suara. (jpg/bha)
Sumber: