Eks Dirut Pertamina Jadi Tersangka

Eks Dirut Pertamina Jadi Tersangka

JAKARTA— Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan penetapan tersangka tiga mantan pejabat PT Pertamina kemarin (4/4). Tiga tersangka itu yakni, eks Dirut PT Pertamina Karen G. Agustiawan, eks Direktur Keuangan Pertamina Frederik Siahaan dan Chief Legal Councel and Comliance Genades Panjaitan. Melalui keterangan tertulis, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M. Rum menuturkan, kasus diawali dengan akuisisi investasi non rutin berupa pembelian aset milik ROC Oil Company di Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009. “Berdasarkan perjanjian jual beli tertanggal 27 Mei 2009 nilainya USD 31.917.228 dan sejumlah biaya yang timbul senilai AU$ 26.808.244,” tuturnya. Namun, dalam pelaksanaannya Kejagung menemukan adanya dugaan penyimpangan. Khususnya, dalam pengusulan investasi yang tidak sesuai dengan pedoman investasi. “Pengambilan keputusan investasi itu tanpa adanya feasibility study atau kajian kelayakan. Serta tidak adanya persetujuan dari Dewan Komisaris,” tuturnya. Akibatnya, investasi dana tersebut, tidak memberikan manfaat atau keuntungan pada PT Pertamina. Namun, justru menimbulkan kerugian yang jumlahnya sama dengan nilai yang diinvestasikan. Bila dirupiahkan mencapai Rp568.066.000.000. “Angka itu sesuai hitungan akuntan publik,” ujarnya. Sesuai dengan keterangan tertulis tersebut, Karen ditetapkan sebagai tersangka dengan surat perintah penetapan tersangka nomor Tap-13/F.2/Fd.1/03/2018 tertanggal 22 Maret. Untuk Frederik nomor surat penetapan tersangkanya Tap-15/F.2/Fd.1/03/2018 tertanggal 22 Maret. “Untuk Chief Legal dengan nomor Tap-14/F.2/Fd.1/03/2018,” terangnya. Total tersangka dalam kasus tersebut empat orang, sebelumnya Kejagung telah menetapkan tersangka pada BK mantan Manager Merger and Acquisition Direktorat Hulu PT Pertamina. Penetapan tersangka sejak 23 Januari 2018. Jumlah saksi yang diperiksa dalam kasus tersebut mencapai 67 orang. Dalam kasus tersebut menimbulkan pro kontra, pasalnya apa yang dilakukan Eks Dirut Karen merupakan tindakan bisnis yang mengalami kerugian. Sebagian memandang bahwa kerugian investasi belum tentu merupakan korupsi. Dikonfirmasi terkait hal tersebut, Direktur Penyidikan Jampidus Warih Sadono tidak merespon telepon dari Jawa Pos. Pesan singkat yang dikirim juga tidak dibalas oleh mantan Kejati Kalimantan Barat tersebut. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisma saat coba dikonfirmasi juga tidak menjawab. Demikian juga upaya untuk menghubungi Karen Agustiawan, belum membuahkan hasil. Hingga tadi malam, pesan singkat dan panggilan ke telepon selulernya tidak direspons. Sementara itu, Pakar Hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Richo Andi Wibowo menilai, langkah Kejaksaan Agung yang menetapkan mantan petinggi Pertamina sebagai tersangka tidaklah tepat. “Ini kan murni bisnis, tindakan korporasi," ujarnya saat dihubungi tadi malam. Menurut Richo, jika memang Karen dan petinggi Pertamina lainnya dianggap tidak berhati-hati dalam pengambilan keputusan sehingga menyebabkan kerugian bagi perseroan, maka cara menghukumnya bukan dengan pasal pidana. Tetapi, dengan Pasal 97 Undang-undang Perseroan Terbatas (UU PT). “Jadi, direksi harus mengganti kerugian secara tanggung renteng,” jelasnya. Dalam Pasal 97 disebutkan, direksi tidak dapat dituntut pertanggungjawaban secara pribadi jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. Lalu, telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian. Berikutnya, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung ataupun tidak langsung atas tindakan yang mengakibatkan kerugian. Serta telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Dalam kasus akuisisi 10 persen saham ROC Oil Limited Australia pada Blok Basker Manta Gummy (BMG) pada 2009 lalu. Awalnya memang disebut jika blok minyak itu memiliki produksi 9.000 barel per hari. Dari jumlah itu, Pertamina mendapat 10 persennya. Namun, seiring ada koreksi penyusutan jumlah cadangan minyak, produksinya pun terus turun hingga tinggal 2.200 barel per hari pada 2010. Lalu produksinya berhenti total pada Agustus 2010. Pada 2013, Pertamina kemudian melepas kepemilikan sahamnya pada blok migas tersebut. Menurut Richo, kasus tersebut memang lebih pas jika ditangani dengan pendekatan bisnis, bukan pidana korupsi. Dia menyebut, langkah Kejaksaan Agung ini berpotensi membuat blunder. “Nanti BUMN kita akan takut mengambil langkah bisnis karena takut dianggap merugikan keuangan negara,” jelasnya. Akibatnya, lanjut Richo, situasi dan kondisi di BUMN bisa seperti di birokrasi yang sering bergerak lamban karena tidak berani mengambil keputusan. “Jadi, Kejaksaan jangan menularkan ketakutan yang ada di birokrasi ke BUMN," ujarnya. Menurut Richo, saat ini publik bisa menilai. Jika memang ada pejabat yang salah ya tidak masalah jika diproses secara hukum. Tetapi, prosesnya harus proporsional. “Kalau salahnya adalah kesalahan berinvestasi ya harus demikian juga bunyinya. Begitu juga kalau salahnya administrasi, jangan kemudian disebut korupsi," pungkasnya. (jpg/bha)

Sumber: