PP 78 Dinilai Mengganjal Kenaikan Upah

PP 78 Dinilai Mengganjal Kenaikan Upah

TANGERANG-Gelombang penolakan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan terjadi di mana-mana. Menjelang tenggat waktu usulan rekomendasi upah minimum kabupaten/kota (UMK) dari bupati/walikota kepada gubernur, penolakan yang dilancarkan kalangan buruh semakin kencang. Mereka mendesak bupati/walikota mengabaikan PP 78/2015 tersebut. Penghitungan kenaikan UMK menggunakan folmulasi PP 78 dinilai tidak mensejahterakan buruh. Perhitungan kenaikan upah dengan memperhitungkan inflasi dan produk domestik bruto, membuat kenaikan UMK terlalu kecil. Tidak sebanding dengan biaya kebutuhan hidup yang terus meningkat. Para buruh menginginkan, kenaikan UMK menggunakan cara lama, yakni berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL). Ketua Presidium Aliansi Rakyat Tangerang Raya (Altar) Galih Wawan mengatakan, buruh Kabupaten Tangerang masih menerima jika usulan UMK yang nantinya direkomendasikan bupati tidak sesuai harapan. Tapi buruh akan menolak jika putusan rekomendasi bupati dianggap terlalu rendah dari usulan awal buruh. Menurutnya, saat pembahasan rapat pleno bersama Dewan Pengupahan Kabupaten Tangerang, buruh mengusulkan UMK Kabupaten Tangerang Rp 4.173.750. Sementara dari Apindo Kabupaten Tangerang mengusulkan Rp 3.555.834, sesuai dengan mekanisme perhitungan UMK mengacu pada PP 78 Tahun 2015 pasal 44 ayat (2) yakni naik sebesar 8,71 persen. “Permintaan kami nggak muluk-muluk kalau usulan UMK dari kami Rp 4.173.750 terlalu tinggi, mari ambil tengahnya saja. Ya, Rp 3,8 juta atau Rp 3,9 juta masih oke lah, buat angka kompromi, yang penting masih tinggi dari usulan Apindo," ujarnya ketika dikonfirmasi Tangerang Ekspres, Kamis (9/11) malam. Menurut Wawan, buruh Kabupaten Tangerang meminta Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar dapat memutuskan besaran UMK secara bijak sebelum diserahkan ke Gubernur Banten. Wawan mengatakan, sekitar pukul 11.30 WIB kemarin perwakilan Altar yang di dalamnya terdapat 12 serikat pekerja di Kabupaten Tangerang telah menemui dan melobi bupati. Dari pertemuan itu bupati menceritakan kepada buruh untuk tahun ini tidak bisa berbuat banyak mengakomodir keinginan mereka. "Beliau menyampaikan ke kami untuk tahun ini harus dapat diterapkan (PP Nomor 78 Tahun 2015) karena kalau melanggar mendapat kartu kuning dari Kemendagri. Tapi kami menyampikan bahwa bupati harus tetap memperhatikan KHL (kebutuhan hidup layak) sebagai dasar menentukan UMK. Karena dari KHL inilah realitas di lapangan atas kebutuhan buruh dapat dijadikan acuan,” tuturnya. Menurut Wawan, buruh sedang menunggu keputusan bupati yang hingga malam kemarin membahas UMK di Disnaker. Menurutnya, bupati tinggal memiliki waktu sehari untuk memutuskan rekomendasi UMK. Dan, pada Jumat (10/11) hari ini harus sudah ditentukan besarannya untuk dikirim ke gubernur . Pun demikian dengan Kota Tangerang. Sampai kemarin, rekomendasi walikota untuk UMK 2018 masih belum diputuskan. Kalangan buruh menyuarakan aksi yang menolak upah minimum sektoral tahun 2018. Pasalnya upah minimum sektoral tersebut mengalami penurunan dari UMK tahun sebelumnya yakni dari Rp 3,2 juta menjadi Rp 3,1 juta. Bahkan buruh sudah menggelar aksi penolakan di depan kantor Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Tangerang, Selasa (7/11) lalu. "Kalau tahun 2017 itu UMK-nya sebesar Rp 3,2 juta, tuntutan kami untuk 2018 adalah Rp3,9 Juta. UMK tersebut akan menentukan besaran upah pada empat sektor lainya,” ucap Koordinator Kasbi Kota Tangerang, Maman Nuriman. Dari besaran UMK tersebut, sektor 1 akan mendapat kenaikan upah sebesar 15 persen, sektor 2 sebesar 10 persen, sektor 3 sebesar 5 persen dan yang terakhir sektor persepatuan atau sektor empat sebesar 3.1 persen. “Keinginan kami adalah sektor persepatuan atau sektor empat tersebut dikembalikan ke sektor dua atau seminimalnya tahun 2018 upahnya di pertahankan di angka Rp 3,1 juta. Bukan malah diturunkan,” tukasnya. Soal UMK, dirinya mengaku menuntut adanya kenaikan di angka Rp 3,9 juta. Selain itu, Maman juga menuntut agar PP 78/2015 soal pengupahan dihilangkan. Menurutnya, PP tersebut tidak berpihak kepada buruh karena dasar pengupahan berdasarkan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional. “Kita tidak sepakat, makanya kita minta untuk dihilangkan PP tersebut. Kalau menurut Permenaker, seharusnya ada 60 item yang dijadikan dasar dalem menentukan upah,” tukasnya. Dia menilai pemerintah daerah tidak berani mengabaikan PP 78/2015 tersebut. Padahal, sudah ada beberapa daerah yang tidak menggunakan PP 78/2015 sebagai landasan pengupahan. Beberapa provinsi seperti NTB, NTT, Papua, Pasuruan bahkan Cilegon disebutkan sudah tidak menggunakan PP tersebut. “Kalau provinsi lain saja bisa, tapi kenapa di Provinsi Banten sendiri tidak bisa mencabut PP tersebut,” lanjutnya. Meski begitu, Maman dan kawan-kawan akan berupaya agar PP 78/2015 tersebut dicabut. “Kita akan mengembalikan survey pasar sehinga nanti muncul Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Beberapa upaya akan dilakukan diantaranya mengadakan audiensi dengan Walikota Tangerang Arief R Wismansyah. Hal tersebut dikarenakan hasil audiensi dengan Gubernur Banten Wahidin Halim meminta agar buruh dan pemerintah daerah untuk satu suara soal UMK ini. “Kita diminta untuk satu suara dengan walikota atau bupati. Kalau rekomendasi satu suara sudah terbit maka gubernur siap menandatangani. Segera kita akan minta teman-teman yang ada di pemerintahan untuk bisa audiensi dengan walikota,” tegasnya. Di Kabupaten Serang, belasan buruh yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pekerja dan Serikat Buruh (ASPSB) Kabupaten Serang beraudiensi dengan Wakil Bupati Serang Pandji Tirtayasa, Kamis (9/10). Mereka merupakan perwakilan dari serikat pekerja di Kabupaten Serang antara lain Serikat Pekerja Nasiona (SPN), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Mereka juga menolak pemberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dalam penentuan upah minimum kabupaten (UMK) Kabupaten Serang tahun 2018. Mereka diterima oleh Pandji di Pendopo Bupati Serang. Hadir juga saat itu Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Serang, Raden Setiawan dan Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnakertrans Kabupaten Serang, Diana A. Utami. Audiensi itu berjalan tertib. Saat itu terjadi dialog antara pihak buruh dengan pemkab. “PP 78 ini tidak layak diberlakukan tahun ini karena kenaikan-kenaikan yang terjadi akibat kebijakan pusat seperti listrik ini memang terasa oleh semua buruh di Kabupaten Serang. Terus BBM (bahan bakar minyak) naik juga. Jadi dampaknya sekarang ini oleh masyarakat pekerja dan buruh,” kata Sekretaris ASPSB Kabupaten Serang, Asep Danawirya saat ditemui wartawan usai audiensi. Menurut Asep, berdasarkan kajian ASPSB, kenaikan upah berdasarkan PP 78 itu tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga sebagai imbas dari kenaikan harga BBM. “Yang biasanya tahun-tahun yang lalu, sebelum PP 78 ini, kita survei pasar. Kalau survei itu sudah pasti kenaikan-kenaikan kebutuhan sehari-hari yang dituangkan dalam KHL (kebutuhan hidup layak), tapi kalau sekarang ini dari PP 78 itu langsung nominal 8,71 persen dari UMK sekarang. Harapan kami Bu Bupati (Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah) membantu para pekerja keluar dari PP 78,” ujarnya. Asep mengatakan Dewan Pengupahan Kabupaten Serang sudah melakukan rapat pada Rabu (8/11). Pada rapat itu tidak ada kesepakatan. Pihaknya mengajukan kenaikan UMK itu sebesar Rp650 ribu dari UMK tahun 2017. Angkanya Rp3,9 juta. Sementara dari pihak perusahaan kenaikannya hanya 8,71 persen yang mengacu PP 78. Angkanya Rp3,5 juta. Sementara untuk upah minimum sektoral (UMS) yang diajukan pihaknya adalah untuk sektor I sebesar 6 persen dari UMK tahun 2018 dan untuk sektor II sebesar 4,5 persen dari UMK tahun 2018. “Sementara Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia Kabupaten Serang) upah sektoralnya Rp50 ribu untuk sektor II dan Rp90 ribu untuk sektor I. Ini tidak berubah dengan upah sektoral tahun lalu,” paparnya. Ia berharap UMS di Kabupaten Serang berupa persentase, bukan dalam bentuk angka. Hal ini sesuai dengan UMS di kabupaten/kota lain di Indonesia. “Itu mudah-mudahan (dikabulkan), sudah janji kepala dinas (Kepala Disnakertrans Kabupaten Serang, Raden Setiawan) akan mempertemukan kami dengan apindo,” ucapnya. Agus juga berharap jika perusahaan memberlakukan UMK sesuai dengan PP 78 maka perusahaan tersebut juga harus memberlakukan skala upah. Ini dilakukan agar antara upah pekerja lajang dengan pekerja yang sudah bekerja lama tidak sama. Hal itu karena baru sedikit perusahaan di Kabupaten Serang yang memberlakukan skala upah. “Kalau tidak ada skala upah perusahaan hanya mengacu pada UMK, padahal UMK itu hanya untuk pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun,” ungkapnya. Wakil Bupati Serang Pandji Tirtayasa mengatakan pihaknya memahami dengan apa yang disampaikan pekerja di Kabupaten Serang. Melalui Disnakertrans Kabupaten Serang, Pemkab akan memanggil Apindo untuk meminta agar jika akan mengacu pada PP 78 harus total dengan memberlakukan skala upah juga. “Mudah-mudahan kita bisa yakinkan Apindo untuk menerapkan UMK, termasuk UMS sesuai aturan yang ada,” katanya. Namun, kata Pandji, Pemkab tidak bisa berlaku otoriter karena pihaknya berkepentingan baik terhadap perusahaan maupun pekerja. “Kami tidak mau kehilangan pekerja dan perusahaan yang menyerap tenaga kerja,” ujarnya. Pandji pun mengatakan pihaknya pernah berbincang dengan pihak PT Nikomas Gemilang yang merasa berat dengan upah pekerja di Kabupaten Serang. Perusahaan itu pun berencana pindah ke tempat lain tapi oleh pihaknya diyakinkan agar tetap berusaha di Kabupaten Serang. “Karyawan Nikomas dulu 80 ribu orang. Sekarang tinggal 50 ribu karena 30 ribu karyawan sudah ke Sukabumi. Nikomas juga pikir-pikir mau pindah ke Boyolali (Jawa Tengah),” paparnya. (mg-14/mg-01/tnt/bha)

Sumber: