Mediasi Dugaan Pengeroyokan Paskibra Buntu

Komite SMAN 1 Kota Serang menggelar konferensi pers terkait kasus pengeroyokan tersebut, Selasa (30/9). (ALDI ALPIAN INDRA/TANGERANG EKSPRES)--
Sementara itu, guru pembina Paskibra SMAN 1 Kota Serang, Diana Eryana, menyampaikan kronologi kejadian versi sekolah. Menurutnya, peristiwa itu bermula usai latihan lomba tata upacara bendera (LTUB) pada 13 Agustus malam.
“Padahal sore harinya kami latihan untuk persiapan LTUB tingkat nasional yang akan diadakan 28 Agustus. Biasanya anak-anak dilatih PPI, tapi minggu itu mereka fokus Paskibra Kota. Karena waktu mepet, alumni menawarkan diri untuk melatih. Kami menerima dengan senang hati karena selama ini tidak pernah ada masalah,” jelas Diana.
Ia mengaku pada malam kejadian dirinya harus membagi waktu antara mengurus persiapan upacara 17 Agustus dan mengawasi latihan LTUB. Dari laporan yang ia terima, latihan sebenarnya berjalan lancar dan anak-anak sudah pulang.
Namun, menurut keterangan saksi, korban sempat menggeber motornya cukup keras. Suara bising dari knalpot yang tidak standar itu memicu perhatian siswa dan alumni yang masih berada di lokasi. Bahkan motor korban sempat difoto oleh petugas sekolah.
“Karena suara motor itu, warga yang ada di lokasi merasa terganggu. Mereka memanggil, tapi korban langsung kabur dengan motornya. Akibat keributan itu, anak-anak yang masih di lokasi justru mendapat hukuman. Mungkin karena merasa tidak salah tapi ikut dihukum, anak-anak dan alumni jadi kesal. Mereka minta korban kembali ke stadion untuk mempertanggungjawabkan,” tutur Diana.
Pesan sempat dikirim di grup WhatsApp, namun korban tidak menanggapi. Alumni kemudian mencari korban, bertemu, dan membawanya ke samping sekolah. Di sanalah peristiwa pemukulan terjadi hingga videonya tersebar.
Diana menegaskan pihak sekolah tidak pernah menoleransi tindakan kekerasan.
“Kami di sekolah tidak pernah menormalisasi pemukulan, sama sekali tidak. Semua proses kami ikuti sesuai prosedur. Pihak korban memilih masuk jalur hukum, kami hormati. Sekarang penanganan sudah di kepolisian,” tegasnya.
Ia mengaku sempat menemui ibu korban pada 15 Agustus ketika menjenguk anaknya di rumah sakit. Saat itu, keluarga masih fokus pada pemulihan kesehatan korban.
“Sejujurnya sampai sekarang saya dan guru-guru masih berusaha menjaga mental anak-anak di sekolah. Karena masalah ini viral, psikologi mereka ikut terganggu. Saya yakin pihak korban juga merasakan hal yang sama,” ujarnya.
Menurutnya, solusi terbaik adalah duduk bersama.
“Harapan kami sederhana, kedua belah pihak bisa menyelesaikan dengan kepala dingin. Kalau tidak, kasus ini akan terus bergulir di media dan membuat suasana di sekolah tidak kondusif,” katanya. (ald)
Sumber: