Kasus Beras Oplosan Membingungkan

Kasus Beras Oplosan Membingungkan

CILEGON-Penggerebekan gudang beras PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi oleh Kepolisian pekan lalu tak berpengaruh besar terhadap penjualan beras di sejumlah wilayah di Banten. Di Cilegon, penjualan beras Maknyus tetap laris manis. Padahal, beras merek Maknyus adalah salah satu jenis yang diduga dioplos. Petugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Cilegon kemarin meninjau lokasi pedagang beras di Pasar Kranggot, Kecamatan Jombang, Kota Cilegon. Petugas mendapat keterangan penjualan beras Maknyus tetap stabil. Di bagian lain, penggerebekan gudang PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi oleh Kepolisian beberapa waktu lalu mengundang banyak tanya dan membingungkan. Pemerintah terkesan tidak konsisten atas tuduhan yang diarahkan pada PT IBU. Misalnya soal subsidi. Sebelumnya, PT IBU diduga mempermainkan harga beras subsidi. Alasannya, beras dari benih IR 64 yang dibeli PT IBU dari petani adalah beras subsidi. Dengan alasan, bahwa dalam produksinya, para petani mendapatkan subsidi input seperti bantuan benih, pupuk, alat-alat pertanian. Menurut Wakil Ketua Komisi 4 DPR Viva Yoga Mauladi, ada kerancuan pengertian beras subsidi. “Setahu saya, pengertian beras subsidi itu raskin (beras untuk keluarga miskin,red) atau rastra (beras untuk keluarga sejahtera,red) yang sepenuhnya ditangani oleh Bulog, sesuai dengan Inpres nomor 5 tahun 2015,” katanya. Sementara, meskipun benih IR 64 tumbuh dan diproduksi dengan bantuan subsidi input, belum tentu hasil dari IR 64, baik berupa beras maupun gabah, otomatis menjadi beras Subsidi. “Makanya, perlu dipertegas aturannya, kalau benihnya subsidi apa lantas berasnya juga berstatus beras subsidi?” kata politikus PAN ini. Maka dari itu, Viva meminta agar pemerintah mempertegas aturan tentang beras subsidi agar tidak salah langkah. Juga agar petani dan para pengusaha mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum. Apalagi soal pidana, Tuduhan mesti ditetapkan secara hati-hati. “Contohnya, kalau PT IBU membeli beras subsidi, lantas dioplos, itu baru namanya tindak pidana,” jelasnya. Viva menambahkan, Kalaupun PT IBU membeli gabah dari petani lebih tinggi dari harga pokok produksi (HPP), maka seharusnya hal tersebut tidak dipermasalahkan. Menurut Inpres nomor 5 tahun 2015, Bulog membeli gabah ke petani dengan HPP Rp 4.300 per kilogram, kemudian beras premium dengan HPP Rp. 7.300 per kilogram. “Kalau ada pengusaha yang membeli di atas itu, justru lebih bagus,” ungkapnya. Meski demikian, Viva mengaku sepakat dengan Menteri Pertanian bahwa perusahaan tidak boleh berambisi meraup keuntungan fantastis di tingkat middle man (distributor dan pengecer) Terpisah, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menuturkan, hampir semua beras yang beredar di pasaran saat ini berasal dari satu benih yang sama. “Itu IR64, Ciheran, Infari, semuanya satu kelas, 90 persen sumbernya sama,’’ ujarnya usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara kemarin (24/7). Pemerintah sendiri selama ini menyubsidi input para petani. Mulai dari subsidi benih, subsidi pupuk yang mencapai Rp 30 triliun, hingga alat dan mesin pertanian (alsintan). “Sehingga, hasil per hektare atau per ton itu di dalamnya ada subsidi negara karena kita subsidi inputnya,” lanjut Amran. Harga awal beras di tingkat petani rata-rata Rp 7.000 per kilogram. Namun, ketika dicek di supermarket, setelah beras itu dikemas dalam berbagai label, banyak yang mematok harga tinggi kepada konsumen. Misalnya, ada yang sampai Rp 25 ribu. Selisihnya cukup jauh, hingga 3,5 kali lipat dari harga awal. Karena itulah, tutur Mentan, saat ini yang sedang diupayakan adalah perbaikan dari sisi distribusi. Rantai distribusi mau tidak mau harus diperpendek demi membuat harga beras lebih terjangkau bagi konsumen. Sehingga, tidak hanya petani dan distributor saja yang menikmati keuntungan. Salah satu contoh yang sudah dijalankan adalah toko tani Indonesia. Dia mengambil beras langsung dari petani dan menjualnya secara retail dengan harga Rp 7.800-8.000. Nominal tersebut merupakan harga yang harus ditanggung oleh konsumen akhir. Disinggung bagaimana menentukan beras tersebut premium atau medium dengan benih yang sama, Amran tidak bersedia menjelaskan lebih jauh. Yang jelas, di pasaran harganya sudah bervariasi. Pihaknya masih akan bertemu dengan para pedagang beras untuk merumuskan regulasi yang tepat mengenai harga beras. Berkaitan dengan penggerebekan Kamis malam (20/7), sampai kemarin (24/7) Polri sudah memeriksa 17 saksi. Terakhir mereka memanggil sembilan saksi. Namun, tidak seluruhnya hadir. ”Dari sembilan, satu sedang berlangsung pelaksanaan (pemeriksaannya kemarin). Yang delapan minta dilakukan penundaan,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya. Menurut pria yang akrab dipanggil Agung itu, penundaan sampai Kamis (27/7). Ketika ditanya soal tersangka dalam kasus tersebut, dia mengungkapkan bahwa instansinya masih mengumpulkan bukti. ”Tahapan dari proses penyidikan adalah mengumpulkan dulu bukti-bukti. Dari bukti itu nanti kami akan menetapkan pelaku (tersangka),” jelasnya. Proses itu perlu dilakukan guna menguatkan bukti yang ditemukan ketika penggerebekan berlangsung. ”Dikumpulkan semua. Termasuk keterangan (saksi),” ujar Agung. Karena itu, dia berharap besar delapan saksi yang meminta pemeriksaan dijadwal ulang tidak kembali mangkir. ”Kami harapkan yang bersangkutan bisa datang Kamis,” pintanya. Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menjelaskan bahwa delapan saksi yang meminta jadwal pemeriksaan ulang berasal dari PT Tiga Pilar Sejahtera Food (PT TPS) dan PT Indo Beras Unggul (PT IBU). “Satu dari pihak ritel modern hadir. Delapan dari pihak PT IBU dan PT TPS minta ditunda Kamis,” ujarnya. Polri menghormati permintaan tersebut. Setyo memastikan, Polri bakal menuntaskan kasus tersebut. Mereka tidak pandang bulu meski ada mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono dibalik PT IBU maupun PT TPS. ”Yang jelas fakta di lapangan. Kami kan berdasar alat bukti,” tegas dia. Perwira tinggi polri yang juga diberi mandat sebagai kepala Satgas Pangan Polri itu pun menuturkan, pihaknya terus mendalami pelanggaran lain. Untuk itu, PT Sekses Abadi Karya Inti (PT SAKTI) yang juga anak perusahaan PT TPS turut diperiksa. Menurut Setyo, kemungkinan PT IBU dan PT SAKTI menjadi kartel dan memonopoli pasar beras akan mereka dalami. ”Ke arah sana,” imbuhnya singkat. Alasannya tidak lain berdasar fakta yang mereka temukan di lapangan. Bahwa PT IBU membeli gabah dari petani dengan harga Rp 4.900 per kilogram. Padahal ketentuan yang diatur dalam Permendag Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian Di Petani Dan Harga Acuan Penjualan Di Konsumen tidak demikian. Harga acuan pembelian di petani untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kilogram. Sedangkan gabah kering giling Rp 4.600. ”Memang betul menguntungkan petani. Tetapi, penggiling-penggiling kecil mati,” tegas Setyo. Bagaimana tidak, perusahaan besar seperti PT IBU punya modal banyak untuk membeli gabah dengan harga yang melampaui ketentuan. Sedangkan penggiling kecil tidak demikian. Alhasil, mereka tidak bekerja dan tidak pula mendapat penghasilan. ”Karena tidak mampu membeli gabah,” ucap Setyo. Itu adalah salah satu bentuk kecurangan yang disorot oleh Polri. Lebih dari itu, sambung Setyo, PT IBU hanya membeli gabah petani ketika kualitasnya baik. Yakni gabah yang berasal dari panen gaduh. ”Hasil (panennya) sedikit. Tapi berasnya bagus,” jelas dia. Ketika panen rendeng (musim hujan) perusahaan besar ogah membeli gabah dari petani. Sebab, kualitas berasnya tidak sebagus ketika panen gaduh (musim kemarau). ”Sehingga mereka (petani) juga kesulitan,” tambahnya. Tentu Setyo tidak asal buka suara. Menurut dia, keterangan tersebut diperoleh dari petani dan penggiling kecil. ”Itu (informasi) yang kami dapatkan,” imbuhnya. Untuk itu, dia menyangkan tindakan yang dilakukan oleh PT IBU. Apalagi beras Cap Ayam Jago dan Maknyuss mereka jual dengan harga sangat tinggi. Melebihi harga acuan penjualan di konsumen yang sudah diatur Kementerian Perdagangan (Kemendag). Karena itu, kedepan Polri bakal merekomendasikan agar pemerintah turut mengatur harga beras berdasar kelas. Sebab, dalam permendag tersebut tidak diatur harga acuan penjualan di konsumen untuk beras medium maupun premium. ”Hanya beras saja,” ucap Setyo. ”Kami akan koordinasikan dengan kementerian terkait. Baik Kementan (Kementerian Pertanian) maupun Kemendag,” sambungnya. Dengan begitu, tidak ada perusahaan yang dapat memainkan harga sesuai keinginan mereka. “Tetap harus dapat keutungan. Harus dapat keuntungan. Tetapi, yang wajar,” tegas Setyo. Sehingga keinginan pemerintah membuat petani, penggiling kecil, pengusaha, maupun konsumen tersenyum tercapai. Tidak ada yang merasa dirugikan oleh salah satu pihak. (jpg)

Sumber: