Walikota Tangerang Harus Lakukan Reformasi Pengelolaan Kefarmasian
KOTA TANGERANG, tangerangekspres.co.id - Kembali terjadinya kasus pemberian obat kadaluarsa kepada pasien oleh petugas tenaga kesehatan puskesmas di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang menjadi sorotan berbagai pihak, karena rakyat kembali menjadi korban. Pekan lalu, Arkan, balita berusia 2,5 bulan mengalami muntah-muntah, setelah orangtua, yakni Widya Kurnia Rahayu (37) yang merupakan warga Bulak santri, Kelurahan Pondok Pucung, Kecamatan Karang Tengah meminumkan obat yang diberikan petugas nakes Puskesmas Pedurenan. Kondisi balita itu membuat panik orangtuanya dan keluarga. Obat itu didapat Widya dari petugas nakes Puskesmas Pedurenan usai anaknya diimunisasi di Posyandu Bunga Kenanga, Pondok Pucung saat pelaksanaan bulan imunisasi anak nasional (BIAN). Widya mengetahui bahwa obat yang diminumkan kepada bayinya sudah kadaluarsa dari grup WhatsApp (WA) warga lingkungannya. Kaget bukan kepalang. Obat itu masa kadaluarsanya sudah 2 tahun yang lalu. Di grup WA sempat ramai celotehan-celotehan warga menilai petugas nakes tidak profesional. Anggota DPRD Kota Tangerang pun menyoroti kasus terjadinya kembali pemberian obat kadaluarsa terhadap pasien. Kali ini balita berusia 2,5 bulan yang menerima obat kadaluarsa dari petugas nakes Puskesmas Pedurenan usai melakukan imunisasi di Posyandu Bunga Kenanga. Sekretaris Komisi II, Andri S Permana mengatakan, persoalan kesehatan adalah hak rakyat, dimana rakyat wajib mendapatkan layanan terbaik dari pemerintah sesuai amanat konstitusi. Apalagi dalam pelayanan kesehatan tidak boleh terjadi kesalahan. "Kesalahan dalam pemberian obat maupun obat yang diberikan sudah kadaluarsa berakibat fatal, bisa menghilangkan nyawa pasien," ungkap Andri kepada Tangerang Ekspres, Minggu (14/8). Soal kasus pemberian obat kadaluarsa kepada balita, dia menegaskan, Pemkot Tangerang tidak hanya sebatas meminta maaf, Pemkot Tangerang juga tidak boleh ada pihak yang dikambinghitamkan pada kasus kembali terjadinya pemberian obat kadaluarsa ini. Kata Andri, urgensi kasus ini adalah bagaimana Pemkot Tangerang melakukan reformasi pengelolaan kefarmasian melalui manajemen pengawasan yang maksimal. Dikatakan Andri, DPRD mendesak Walikota Tangerang untuk melakukan reformasi kepada seluruh unit Puskesmas di Kota Tangerang. Hal itu sebagai bagian dari proses monitoring dan evaluasi kebijakan kefarmasian atau pengelolaan obat di puskesmas lingkup Kota Tangerang. Selain itu dibentuknya tim pengawas dibawah naungan Dinkes Kesehatan untuk melakukan kontroler dalam kefarmasian baik di puskesmas-puskesmas maupun di rumah sakit secara berkala. "Nanti bisa diketahui apakah seluruh standar pelayanan kefarmasian yang telah diatur dalam undang-undang telah dilaksanakan oleh petugas kefarmasian atau belum, sehingga ada kepastian apakah masyarakat telah terlindungi apa tidak dari obat yang yang diberikan," papar Andri politisi dari Fraksi PDI-Perjuangan. Karena Pengelolaan kefarmasian secara formulasi kebijakan, sambung Andri, sangat berkaitan dengan aspek perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat yang dikelola secara optimal. Apabila hal itu dilakukan, akan tercapainya ketepatan jumlah dan jenis obat serta perbekalan kesehatan untuk masyarakat. Andri menuturkan, pemerintah sebagai pelaksana, seluruh alur tersebut adalah bagian yang dapat dievaluasi secara langsung sebagai proses monitoring pengelolaan obat di pusat kesehatan. Sepatutnya jika hal tersebut dilaksanakan tidak akan terjadi kesalahan dalam implementasi kefarmasian itu. Kecuali terdapat unsur kesengajaan maka dapat langsung diambil tindakan sanksi tegas. Andri menambahkan, pemerintah dalam hal perencanaan perlu mempersiapkan antisipasi terhadap segala faktor yang dapat menyebabkan obat rusak dan kedaluarsa semisal penyimpanan dan tidak diterapkannya berdasarkan First In First Out (FIFO) maupun First Expired First Out (FEFO) sebuah metode yang merujuk pada pengelolaan dalam hal ini kefarmasian. Petugas farmasi menentukan barang mana yang harus dikeluarkan terlebih dahulu dan mana yang dapat disimpan lebih lama. Sehingga dapat diminimalisir potensi kerugian baik kesehatan masyarakat maupun penggunaan anggaran pemerintah. Dia menyebutkan, sudah saatnya pemerintah fokus bagaimana mewujudkan pelayanan kesehatan yang prima kepada masyarakat, karena kesalahan pemberian obat atau pemberian obat kadaluarsa dapat menyebabkan jatuhnya korban jiwa, besar kemungkinan dapat menghilangkan kepercayaan publik kepada pihak pemerintah. "Kalau sampai ada warga kehilangan nyawa akibat adanya kesalahan pemberian obat kan bahaya. Sanksinya berat, bisa pidana. Oleh karena itu segera lakukan reformasi pengelolaan kefarmasian secara menyeluruh," pungkasnya.(raf)
Sumber: