PPDB SMA/SMK Negeri di Jatim Disetop, Banyak Masalah dan Keluhan dari Orang Tua Siswa

PPDB SMA/SMK Negeri di Jatim Disetop, Banyak Masalah dan Keluhan dari Orang Tua Siswa

SURABAYA - Dinas Pendidikan Jawa Timur menangguhkan sementara proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA/SMK negeri 2019. Padahal, rangkaian proses PPDB sudah berlangsung. Bahkan, pendaftaran jalur online berdasarkan jarak akan berakhir hari ini. Kemarin (19/6), dalam laman ppdbjatim.net diumumkan bahwa proses zonasi ditangguhkan. Sistem sedang dalam proses sinkronisasi. Sebelum pengumuman itu diluncurkan sekitar pukul 15.00 kemarin, ratusan walimurid menyampaikan aspirasinya di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya. Massa yang berkumpul sejak pukul 11.00 itu menyatakan ketidakpuasannya atas proses PPDB yang berlangsung tahun ini. PPDB tahun ini dianggap tidak berkeadilan. Bahkan di DPRD Jatim, perwakilan walimurid juga menyampaikan aspirasinya. Jospan, salah seorang walimurid mengatakan, PPDB harus menghargai hak anak yang bersangkutan. Namun, kenyataannya, proses PPDB berdasarkan jarak yang berlangsung sejak Senin (17/6) itu dinilai sudah banyak makan korban. Muncul berbagai permasalahan dan komplain. ”Ada yang tidak bisa akses, ada yang kurang tahu tentang pengaksesan. Dan muncul masalah-masalah baru orang tua yang mengeluhkan putra-putrinya terdepak dari pendaftaran. Sehingga banyak keluhan dan merasa tidak bisa lagi masuk ke SMA negeri,” ujarnya saat audiensi dengan Plt Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Hudiyono dan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Jatim untuk Surabaya dan Sidoarjo Sukaryantho di Gedung Negara Grahadi Surabaya, kemarin. Dia mencontohkan, jarak rumah 600 meter dari sekolah. Nilai ujian nasional memang tidak tinggi, meski rata-rata nilai masih 8,5. Namun siswa tersebut tidak bisa masuk karena tergeser oleh siswa lain yang jaraknya lebih dekat. ”Dengan semangat pemerataan, mestinya siswa tersebut bisa masuk karena jarak hanya 600 meter,” tuturnya. Kondisi itu banyak dialami oleh siswa lainnya. Tentu tidak sedikit walimurid yang resah dan merasa tidak adil. Apalagi, di Surabaya, ada 32 kecamatan dan hanya ada 22 SMA negeri. Masyarakat yang bertempat tinggal di pinggir kota praktis susah bersaing. ”Jadi itungannya masih kurang. Dengan jarak tidak bisa masuk. Dengan nilai UN juga tidak bisa masuk. Itu lebih menyakitkan,” terang laki-laki yang juga koordinator komunitas orang tua peduli pendidikan anak (KOMPAK) itu. Untuk itu, pihaknya bersama walimurid lainnya menuntut agar PPDB 2019 dikembalikan seperti PPDB 2018. Para siswa juga bisa bersaing dengan kemampuan nilainya masing-masing. Bukan sekadar jarak dan tempat tinggal. Ferry Koto, anggota Dewan Pendidikan Surabaya, ikut mengawal proses PPDB SMA/SMK. Pada dasarnya, kata dia, tidak ada masalah dengan zonasi. Hanya saja, Kemendikbud yang menerapkan seleksi PPDB berbasis jarak dinilai mengabaikan filosofi pendidikan. ”Karena anak yang seharusnya dididik, bukan orang tua,” katanya. Pendapat itu bukan tanpa alasan. Dengan berbasis jarak, ujar dia, mau tidak mau akan berkorelasi pada perekonomian walimurid. Yakni, kemampuan walimurid untuk memiliki tempat tinggal. Yakni rumah di pinggiran kota atau di tengah kota. Padahal, rata-rata sekolah berada di area tengah kota. ”Anak didekatkan ke sekolah itu kebijakan yang baik. Tapi sekolah terpusat di tengah kota. Sedangkan orang tua ada ada yang hanya mampu bertempat tinggal di pinggiran. Otomatis yang diterima yang lebih dekat. Jadi, PPDB berbasis jarak yang mendekatkan anak dengan sekolah tidak terbukti,” tegasnya. Di sisi lain, sistem PPDB juga dinilai belum siap. Sehingga, kata Ferry, ada siswa yang nilainya tinggi hingga 393 justru hilang dari laman. Kemarin, bukan hanya walimurid yang protes. Para siswa juga turut menyuarakan aspirasi teman-temannya. Bahkan, sempat muncul pemikiran bahwa anak-anak yang kurang pendidikan dan malas justru mendapat sekolah. Sedangkan, siswa yang pintar justru tidak mendapat sekolah karena terkendala jarak. Untuk daftar ke sekolah swasta juga tidak murah. Kondisi itu jelas memunculkan ketidakadilan tersendiri. Semestinya, yang menjadi semangat bukan sekadar pemerataan pendidikan, melainkan keadilan dalam pendidikan. Kemarin, walimurid mendesak agar proses PPDB dihentikan terlebih dulu. Penghentian sementara itu dilakukan sembari Dispendik Jatim mengonsultasikan kepada Kemendikbud. ”Kami minta dipending dulu. Karena semakin banyak korban. Lalu bicarakan dengan kementerian, jadi ada niat baik pemerintah yang terlihat,” ujar Jospan. Apalagi, di daerah lain seperti Jakarta proses PPDB baru dimulai 1 Juli. ”Jadi, kita juga masih ada waktu untuk berbenah,” imbuhnya. Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jatim Bambang Agus Susetyo ikut memediasi proses audiensi. Pihaknya juga telah menerjunkan tim untuk mengetahui pokok persoalan PPDB di Surabaya. ”Kami laporkan juga kepada Pak Sesjen, Irjen, dan Sesdirjen Kemendikbud,” ujarnya. Sebelumnya, kata dia, ada rapat di Kemendikbud bahwa daerah bisa mengusulkan kekhususan. Pun demikian Surabaya yang sebenarnya juga bisa mengajukan kekhususan. Selanjutnya kekhususan tersebut bisa diformulasikan rumusannya dalam PPDB. ”Surabaya belum menyampaikan kekhususan, jadi Pak Kepala Dinas perlu menganalisa, dan bisa dibawa ke Jakarta,” katanya. Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pendidikan Jatim Hudiyono akhirnya menangguhkan sementara proses PPDB. Penangguhan itu dilakukan sampai ada keputusan dari Kemendikbud. Para siswa yang sudah mendaftar, kata dia, tidak perlu khawatir. Sebab, data-data siswa sudah tersimpan dalam sistem. Sejatinya, kata dia, Pemprov Jatim sudah memberikan jaminan bahwa sistem PPDB sudah dikemas secara baik. Proses PPDB juga berjalan sesuai amanat Permendikbud 51 tahun 2018 tentang PPDB. Mengacu pada sistem zonasi, maka jarak terdekat menjadi pertimbangan utama. Namun Pemprov Jatim juga mengakomodasi berdasar nilai ujian nasional sebesar 20 persen. ”Permendikbud sudah mengamanatkan zonasi. Namun dengan berbagai pertimbangan ini, kami menangguhkan sementara pelaksanaan PPDB sampai ada keputusan Pak Menteri,” ujarnya. (puj/elo)

Sumber: