Tarif Listrik Rumah Tangga Turun, Tarif Listrik Industri Juga Akan Turun
JAKARTA-Penurunan harga minyak dunia dan nilai tukar Dolar AS terhadap Rupiah membuat PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menurunkan tarif listrik. Penurunan tarif diberikan terhadap pelanggan golongan R-1 900 VA RTM (Rumah Tangga Mampu) mulai 1 Maret 2019 hingga 31 Desember 2019. Pelanggan golongan R-1 900 VA RTM pun sekarang hanya membayar tarif listrik sebesar Rp 1.300 per kilowatt hour (kWh). Turun sebesar Rp 52 per kWh dari tarif normal sebesar Rp 1.352 per kWh. Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan penurunan tarif listrik tersebut diharapkan dapat mendorong produktivitas masyarakat pelanggan golongan tersebut. “Jangan digunakan untuk kegiatan konsumtif seperti nonton sinetron. Tetapi, untuk meningkatkan produktivitas UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) dan rumah tangga mumpung listriknya murah,” terangnya kemarin (15/2). Saat ini jumlah pelanggan listrik R-1 900 VA RTM memang cukup mendominasi. Sebanyak 21 juta pelanggan, dari total pelanggan listrik PLN sebesar 71.917.397 pelanggan per akhir Desember 2018. Penurunan tarif juga diperlukan lantaran golongan ini merupakan pelanggan listrik yang rentan terdampak fluktuasi kondisi ekonomi. “Kalau kita lihat golongan rumah tangga pertumbuhannya tidak sebagus industri. Jadi, kita coba berikan insenstif,” imbuhnya. PLN mencatat, pada 2018 silam konsumsi listrik golongan rumah tangga hanya mampu tumbuh sebesar 3,52 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Paling rendah dibandingkan golongan lain. Untuk golongan industri mengalami pertumbuhan konsumsi sebesar 6,45 persen, bisnis sebanyak 5,96 persen dan lain-lain mampu tumbuh sebesar 6,72 persen. Besaran penurunan tarif tersebut, yakni Rp 52 per kWh juga disesuikan dengan kondisi keuangan PLN. PLN pun menargetkan untuk melakukan efisiensi biaya produksi listrik sebesar Rp 1,5 Triliun agar dana tersebut dapat menutup penurunan tarif listrik golongan 900 VA tahun ini. Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN I Made Suprateka mengatakan pemberian insentif tarif ini dilakukan karena PLN berhasil melakukan efisiensi. “Di antaranya penurunan susut jaringan, perbaikan SFC (Specified Fuel Consumption) dan peningkatan CF (Capacity Factor) pembangkit,” ujarnya. Selain itu, insentif juga diberikan lantaran harga ICP selama 3 bulan terakhir mengalami penurunan dari USD 62,98 per barel menjadi USD 56,55 per barel. “Adanya insentif ini, PLN ingin memberikan ruang untuk pelanggan R-1 900 VA RTM agar dapat lebih banyak memanfaatkan listrik untuk menunjang kegiatan ekonominya dan dalam kegiatan kesehariannya,” jelas Made. Sebab, menurutnya saat ini listrik telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. “Seluruh aktivitas masyarakat ditopang oleh pasokan listrik. Insentif penurunan tarif bagi RTM 900 VA ini tidak menyertakan syarat apapun,” tegasnya. Setelah ini, PLN berencana untuk menurunkan tarif listrik industri untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Penurunan tarif listrik industri dipercaya dapat memberikan multi efek terhadap perekonomian Indonesia dan bisa menambah lapangan kerja. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy N Sommeng mengatakan memang ada ruang untuk penurunan tarif listrik. Sebab, ketiga parameter tarif listrik yakni harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ ICP) mengalami penurunan, inflasi terkendali dan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS stabil. “Nah, kalau kita lihat secara positif bahwa ada perubahan di parameter-parameter ini, kan bisa (turun). Tetapi, tergantung kepada korporasi,” ujarnya. Dia menyatakan, seharusnya perubahan tarif listrik bisa dilakukan sebulan sekali sesuai dengan perubahan ICP. Selama ini, tarif listrik dievaluasi setiap 3 bulan sekali. “Kalau tiga bulan kelamaan sebenarnya,” imbuhnya. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan saat ini memang ada penurunan harga energi primer dan penguatan kurs Rupiah terhadap Dolar AS yang memberikan ruang bagi PLN dapat menurunkan tarif listriknya. Meski demikian, saat ini nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan harga minyak dunia masih fluktuatif. Sehingga, PLN seharusnya tidak perlu menurunkan tarif listrik perseroan. “Harusnya tidak perlu turun atau kalau pun turun diberikan ke seluruh golongan pelanggan lain,” urainya. Apalagi, menurutnya penurunan tarif listrik tersebut kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah yang mencabut subsidi listrik golongan 900 VA RTM awal 2017 lalu. Kala itu, pemerintah memang melakukan pencabutan subsidi listrik bagi sebagian golongan pelanggan 900 VA. Waktu itu, terdapat 18,7 juta pelanggan golongan 900 VA yang disubsidi ternyata masuk dalam golongan masyarakat mampu menurut survei TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Hingga kini, masih tersisa sekitar 4 juta pelanggan golongan 900 VA yang disubsidi. Biaya listrik mereka pun relatif lebih murah yakni mencapai Rp 585,00 per kWh. Sehingga, menurutnya kontradiksi kebijakan tersebut mudah dibilang bias hanya untuk memenuhi kepentingan politik menjelang Pemilihan Presiden 2019. “Tarif sekarang ini sudah cukup affordable. Kalau mau menurunkan tarif, lebih efektif untuk industri,” imbuhnya. Selain itu, efisiensi yang dilakukan oleh PLN lebih baik digunakan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Sebab, pemerintah saat ini memang sedang mengejar target rasio elektrifikasi sebesar 99,9 persen. (jpg)
Sumber: