Menunggu Aksi Para Manteri Usai Dimarahi Jokowi, Reshuffle Kabinet Jangan Cuma Wacana

Selasa 30-06-2020,04:36 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

KALANGAN partai politik di koalisi pemerintah maupun di luar pemerintah angkat bicara terkait kemarahan Presiden Joko Widodo yang sampai menyebut kata reshuffle. PDI Perjuangan (PDIP) misalnya, menyebut kemarahan dan teguran Jokowi kepada jajaran Kabinet Indonesia Maju merupakan suatu yang wajar. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, sejak awal Jokowi sudah mengingatkan pentingnya penanganan Covid-19. Karena itulah, kata Hasto, setiap jajaran kabinet seharusnya memiliki sense of crisis, dan berani mengambil tanggung jawab melalui kebijakan terobosan untuk membantu rakyat. "Bahkan dengan keluarnya Perppu menunjukkan adanya hal ikhwal kegentingan yang memaksa," terang dia kemarin. Menurut politikus asal Jogjakarta itu, dalam kegentingan memaksa yang berdampak luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka secara otomatis fungsi koordinasi, kerjasama antar kementerian, dan inisiatif kebijakan seharusnya dikedepankan. Selama ini, kata dia, ada beberapa pihak yang cenderung mencari aman, dan tidak mengambil prakarsa, sehingga wajar jika presiden sampai melakukan evaluasi terhadap kinerja para menteri. Terkait reshuffle kabinet, terang Hasto, merupakan hak prerogatif presiden. Menurut dia, reshuffle juga sebagai instrumen yang dipakai untuk melakukan evaluasi atas kinerja menteri. PDIP berharap, apa yang disampaikan presiden bisa semakin memacu kinerja dan kekompakan seluruh jajaran kabinet, dan seluruh lembaga negara yang berkaitan dengan fungsi perekonomian negara. "Untuk secepatnya mencari solusi komprehensif dan efektif di dalam memercepat gerak pertumbuhan perekonomian nasional," tutur Hasto. Mantan anggota DPR itu pun mendorong agar para menteri bekerja lebih keras di tengah masa pandemi Covid-19. Para menteri harus kedepankan aksi, bukan wacana. "Kita menunggu aksi para menteri melalui berbagai program kerakyatan yang nyata dan berdampak luas bagi masyarakat," pungkasnya. Wakil Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, tugas presiden adalah mengevaluasi kinerja para pembantunya. Jika ada yang tidak memuaskan, presidenlah yang berhak memberikan teguran dan peringatan. Presiden sudah menyebut akan melakukan tindakan, termasuk akan melakukan reshuffle. "Berarti presiden sudah merasakan ada yang tidak beres dalam kabinetnya," tutur dia. Menurut Saleh, persoalan evaluasi dan reshuffle adalah hak prerogatif presiden. Jika dianggap perlu dilakukan perombakan kabinet, maka hal itu bisa dilakukannya kapan saja. Tidak ada yang bisa menghalanginya. Dia melihat bahwa fokus presiden adalah penyelamatan 267 juta warga negara. Hal itu disebut beberapa kali dalam pidatomya. Untuk itu, presiden rela melakukan banyak hal. Termasuk reshuflle dan mengeluarkan payung hukum yang diperlukan. PKS juga ikut merespons pidato teguran itu. Mardanil Ali Sera, anggota DPR dari Fraksi PKS berharap, ketegasan presiden tidak berhenti di sebatas pernyataan saja. Paling lambat sepekan, kata dia, ada tindak lanjut aksi dan keputusan tegas dan jelas dari pernyataan itu. "Jika tidak ada aksi, maka Pak Jokowi justru yang disebut tidak punya sense of crisis," ucap dia. Mardani menambah, tiga menteri yang disebut Jokowi, yaitu menteri kesehatan, ekonomi, dan sosial harus bekerja keras dalam sepekan ke depan. Jika tidak, maka ketiga menteri itu perlu disegarkan. Dari Istana, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko enggan bicara eksplisit terkait reshuffle kabinet. Memang benar bahwa presiden menyatakan bakal mempertaruhkan reputasi politiknya dalam pernyataan kepada para menteri. ’’Maknanya, presiden mengambil langkah-langkah yang memberikan contoh kepada bawahannya,’’ terang Moeldoko di Bina Graha kemarin. Dia mengibaratkan langkah presiden seperti para panglima di medan perang. Dalam dunia militer, ada tiga langkah yang harus diambil seorang panglima di lapangan dalam mengatasi krisis. Pertama, panglima atau komandan harus hadir di lapangan. ’’Kita lihat bapak presiden. Surabaya, Jawa Timur masih merah, (tetap) ke lapangan. Itu ciri-ciri panglima, selalu hadir dalam situais kritis,’’ lanjut mantan Panglima TNI itu. Langkah kedua adalah mengerahkan senjata bantuan. Dalam hal ini, yang digunakan presiden adalah bansos. Sementara, langkah ketiga adalah mengerahkan kekuatan cadangan. Kekuatan cadangan hanya dikeluarkan pada saat-saat terakhir. Jika kekuatan cadangan keluar, artinya kondisi memang buruk. Yang saat ini berusaha dicegah, tambah Moeldoko, adalah jangan sampai presiden mengeluarkan kekuatan cadangan itu. Namun, dia enggan memastikan bentuk seperti apa kekuatan cadangan itu. Menurutnya, salah satunya adalah kocok ulang kabinet. Dari sisi pengamat, tindakan presiden yang marah tersebut tidak tepat. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana menjelaskan bahwa menteri hanya merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan terbatas di bidang masing-masing. Sedangkan tanggung jawab pengambilan keputusan umum dan memastikan orkestrasi kebijakan berjalan harmonis adalah presiden. Apabila menteri dirasa kurang maksimal dalam tugasnya, seharusnya presiden sudah mengambil tindakan sejak awal. "Seharusnya Presiden Jokowi dapat bertindak lebih awal untuk memberhentikan para menteri yang tidak bekerja dengan baik dalam menangani situasi darurat," tegas Gita. Karena itu, PSHK memberi masukan agar Jokowi segera memberhentikan menteri atau pejabat eksekutif yang capaiannya minim dan buruk. Serta dalam jangka waktu ke depan memperbaiki kelemahan manajemen regulasi secara menyeluruh. "Terutama dalam hal perencanaan serta monitoring dan evaluasi setiap peraturan perundang-undangan dalam lingkup eksekutif," lanjutnya. Soal perundang-undangan ini juga, menurut Gita, ada yang salah dengan pernyataan presiden ingin adanya perppu dan perpres. Ini menimbulkan kesan presiden ingin membantu menter. Padahal seharusnya peran yang dijalankan adalah memutuskan dan memimpin. Dan apabila ada penerbitan perpres di luar perencanaan, PSHK menilai hal ini sia-sia. "Ini menunjukkan tidak matangnya perencanaan pemerintah dan tidak konsistennya sikap presiden yang ingin membatasi jumlah regulasi," paparnya. (lum/byu/deb)

Tags :
Kategori :

Terkait