Gaji Kepala Daerah Akan Naik, Untuk Menekan Perilaku Korupsi
JAKARTA - Menteri Keuangan, Sri Mulyani menanggapi usulan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menaikkan gaji para kepala daerah. Hal tersebut bertujuan menekan kasus korupsi yang kerap melibatkan kepala daerah. Sri Mulyani mengaku, tengah melakukan kajian kenaikan gaji kepala daerah, seperti gubernur, walikota dan bupati. Usulan tersebut kemungkinan disetujui. Saat ini, gubernur mendapatkan gaji pokok dan tunjangan yang sebulan sebesar Rp 8,4 juta. Bupati dan walikota Rp 5,8 juta perbulan. Selain gaji pokok dan tunjangan, kepala daerah mendapat biaya opersional. Besarannya bergantunga seberapa besar pendapatan asli daerah (PAD) yang berhasil dikumpulkan. Semakin besar PAD-nya semakin besar tunjangan biaya opersionalnya. Sebagai gambaran, Gubernur DKI Jakarta mendapat tunjangan operasionalnya mencapai Rp 2,7 miliar/bulan, sementara wakilnya Rp 1,8 miliar/bulan. Selengkapnya lihat grafis Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri mengusulkan idealnya, gaji gubernur Rp 80 juta/bulan dan bupati/walikota Rp 50 juta/bulan. Menurut Sri Mulyani, menaikkan gaji kepala daerah, tidak membutuhkan biaya yang mahal mengingat jumlah kepala daerah tidak begitu banyak. "Dikaji dahulu. Termasuk remunerasi pejabat struktural hingga ke daerah. Hasil kajian akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo," terangnya, wanita kelahiran Bandar Lampung 26 Agustus 1962 itu, kemarin (7/12). Remunerasi yang dimaksud adalah terkait dengan jumlah total kompensasi yang diterima oleh pegawai sebagai imbalan dari jasa yang sudah dikerjakannya. Terpisah, Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi mengatakan, usulan untuk menaikkan gaji kepala daerah bukanlah solusi yang cerdas. "Sebab dengan dinaikkan gaji kepala daerah setinggi-tingginya, tetap mereka akan lakukan korupsi," tandas Uchok. Menurut Uchok para kepala daerah setelah berkuasa tentu ingin ada upaya bagaimana mengembalikan modal saat mencalokan diri sebagai kepala daerah. Sehingga kenaikan gaji itu tak akan bisa mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan. "Kepala daerah itu butuh duit untuk menutupi cost politik yang mahal," tambahnya. Uchok menambahkan, solusi yang tepat untuk mengurangi angka korupsi yang melibatkan kepala daerah adalah dengan mengurangi biaya politik. Atau bahkan biaya politik seperti mahar untuk merangkul partai pengusung atau partai pendukung dihilangkan. "Biaya politik harus dikurangi atau dihilangkan. Misalnya dalam pilkada seperti menghilangkan jual beli 'perahu'. Ini lebih efektif daripada menaikkan gaji kepala daerah," urainya. Bahkan, Uchok sepakat dengan apa yang disampaikan oleh calon Presiden Prabowo Subianto. "Iya, sudah stadium empat (korupsi) dan sudah akut sekali. Sementara korupsi di infrastruktur zaman Jokowi tidak ada yang berani sentuh oleh aparat penegak hukum," tutupnya. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sepakat dengan usulan KPK untuk menaikkan gaji kepala daerah. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemedagri, Bahtiar mengakui, gaji kepala daerah saat ini masih sangat tidak layak. "Secara objektif gaji kepala daerah saat ini sangat tidak layak," kata Bahtiar kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Jumat (7/12). Ia mencontohkan dengan apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta yang sukses mencegah adanya praktik korupsi. Cara yang dilakukan Pemprov DKI adalah dengan meningkatkan kesejahteraan aparatnya yang di atas rata-rata nasional, bahkan untuk tingkat swasta pun kalah. "Pemda DKI Jakarta contoh organisasi pemerintahan yang sukses mencegah korupsi. Boleh dikata Pemprov DKI zero korupsi. Wajar kalau dapat penghargaan dari KPK," tambah Bahtiar. Disamping itu, cara lainnya untuk menekan angka korupsi yang melibatkan kepala daerah adalah dengan memberikan alokasi keuangan kepada partai politik. Minimal, Rp10.000 per suara seperti hasil kajian yang sudah ada. Parpol adalah sumber rekruitmen pejabat negara baik pusat dan daerah. "Maka keuangan parpol yang sehat harus didukung supaya parpol dapat gunakan amggaran tersebut untuk fokus kaderisasi dan pendidikan politik," pungkasnya. (hrm/fin/ful)
Sumber: