Rencana Evakuasi 15 Jenazah Hari Ini, TNI-Polri Buru KBBS, Bertambah Satu Korban Selamat

Rencana Evakuasi 15 Jenazah Hari Ini,  TNI-Polri Buru KBBS, Bertambah Satu Korban Selamat

Pasukan gabungan TNI dan Polri terus berusaha masuk wilayah Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua Rabu (5/12). Meski gangguan dari Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KBBS) terus mengusik, mereka tetap bergerak. Hasilnya, kemarin mereka berhasil mengevakuasi seorang korban selamat ke Distrik Mbua. Mereka juga menemukan belasan korban meninggal dunia yang diduga korban aksi kelompok tersebut. Kapendam XVII/Cendrawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi menjelaskan, tiga dari empat pekerja PT Istaka Karya yang dievakuasi Selasa (4/12) sudah ditangani oleh petugas di RSUD Wamena. Dia pun membeberkan keterangan salah seorang korban selamat yang juga pekerja PT Istaka Karya. ”Pada 1 Desember 2018, seluruh karyawan PT Istaka Karya memutuskan untuk tidak bekerja,” terang dia menirukan penuturan salah seorang korban tersebut. Mereka mengambil keputusan itu lantaran sudah mengetahui KKSB akan melaksanakan upacara. Sebagaimana diketahui, 1 Desember diklaim oleh kelompok itu sebagai hari kemerdekaan Papua Barat. Acara itu, sambung Aidi, dibarengi agenda bakar batu bersama masyarakat setempat. Lantaran ada pekerja PT Istaka Karya yang memotret rangkaian acara tersebut, KKSB lantas mendatangi base camp mereka. Aidi menyebut, KKSB datang sekitar pukul 15.00 WIT. Dengan berbagai senjata tajam dan senjata api, puluhan anggota kelompok itu memaksa 25 pekerja PT Istaka Karya yang berada di base camp keluar. ”Selanjutnya digiring menuju Kali Karunggame dalam kondisi tangan terikat,” imbuhnya. Sampai Minggu (2/12) para pekerja tidak juga dilepaskan. Sekitar pukul 07.00 WIT mereka di bawa ke puncak Bukit Tabo. Dalam perjalanan dari Kali Karunggame ke Bukit Tabo, puluhan pekerja PT Istaka Karya diminta berjalan jongkok. Saat itulah, KKSB menembaki mereka. ”Sebagian pekerja tertembak mati di tempat sebagian lagi pura-pura mati terkapar di tanah,” beber Aidi. Total ada sebelas pekerja PT Istaka Karya yang berpura-pura sudah tidak bernyawa. Namun lima di antaranya ketahuan saat hendak melarikan diri. Mereka dieksekusi memakai senjata tajam. Enam lainnya berhasil menyelamatkan diri. Meski tidak bersamaan, namun arah mereka sama. Menuju Distrik Mbua. ”Dua belum ditemukan. Sedangkan empat orang selamat,” imbuh Aidi. Oleh aparat gabungan TNI-Polri, mereka dibawa ke Pos Batalyon Infanteri (Yonif) 755/Yalet. Kemudian diterbangkan ke Wamena. Mengikuti evakuasi para korban ke Wamena, prajurit TNI di pos itu juga memilih mundur. Mereka bergabung dengan pasukan gabungan TNI-Polri yang tiba di Distrik Mbua dua hari lalu. Sebab, Pos Yonif 755/Yalet yang sempat diserbu KKSB dinilai sudah tidak aman. Jumlah mereka juga tidak sepadan dengan KSSB yang datang. Lebih dari itu, seorang prajurit TNI bernama Serda Handoko meninggal dunia pasca serbuan oleh KKSB. ”Saat itu (mundur dari pos) seorang anggota atas nama Pratu Sugeng tertembak di lengan,” jelas Aidi. Berdasar keterangan Wakapendam XVII/Cendrawasih Letkol Infanteri Dax Sianturi, jenazah Serda Handoko sudah dibawa dari Distrik Mbua ke Distrik Kenyam yang juga ibu kota Kabupaten Nduga. Pun demikian dengan Pratu Sugeng. Dia juga dibawa ke Distrik Kenyam untuk mendapat penanganan medis. ”Autopsi terhadap jenazah oleh dokter dari tim medis AD ditemukan adanya luka tembak di bagian punggung,” jelas Dax. Kemarin pagi, pasukan gabungan TNI-Polri kembali bergerak dari Distrik Mbua. Mereka bertolak ke Distrik Yigi guna mendatangi lokasi yang diduga tempat eksekusi pekerja PT Istaka Karya. Berdasar keterangan Dax, penyisiran TNI – Polri di Distrik Nduga  sementara ini menghasilkan temuan 15 jenazah. ”Ditemukan meninggal dunia di area pucak Tabo,” ungkap dia. Selain itu, mereka juga berhasil menemukan seorang korban selamat bernama Jhony Arung. Nama Jhony Arung termasuk dalam daftar 24 nama yang sebelumnya dilaporkan Senin sore (3/12) oleh seorang pendeta bernama Wihelmus Kogoya. Namun demikian, sampai kemarin malam pasukan gabungan TNI – Polri belum bisa memastikan identitas 15 korban meninggal dunia yang mereka temukan. ”Sehingga belum bisa dipastikan apakah keseluruhan 15 korban tersebut adalah karyawan PT Istaka Karya,” jelasnya. Hingga kemarin, Sekretaris Perushaan PT Istaka Karya Yudi Kristanto belum bersedia memberikan daftar nama pekerja yang bertugas di Distrik Yigi. Dia menyebut, daftar nama pekerja bakal disampaikan dalam rilis resmi setelah diketahui secara pasti jumlah dan identitasnya. ”Kami juga menjaga perasaan keluarga korban,” ungkapnya. Lantaran sudah gelap, evakuasi 15 jenazah tersebut bakal dilaksanakan hari ini (6/12). Bisa ke Wamena atau Timika. Seorang anggota Polri yang terluka saat bergerak masuk Distrik Yigi juga dievakuasi ke Wamena. Menurut Kabidhumas Polda Papua Kombespol A. M. Kamal, anggota Polri itu bernama Bharatu Wahyu. Dia mengalami luka tembak di lengan kanan, bahu kiri, dan leher ketika terjadi kontak senjata antara pasukan gabungan TNI-Polri dengan KKSB. ”Dibawa ke RSUD Wamena untuk diambil tindakan medis,” imbuhnya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyampaikan bahwa jumlah pekerja PT Istaka Karya yang menjadi korban aksi KKSB sebanyak 25 orang. Dari angka tersebut, 19 di antaranya meninggal dunia setelah dieksekusi oleh kelompok Egianus Kogoya. Sedangkan enam lainnya berhasil melarikan diri. ”Empat bisa diselamatkan oleh pasukan kita dan dua sedang dicari,” kata dia kemarin. Empat korban selamat sudah berhasil dievakuasi ke Wamena. Dari keterangan mereka, ada 14 pekerja PT Istaka Karya yang meninggal dunia setelah ditembaki KKSB. ”Mereka melakukan penembakan yang sangat brutal,” ucap Wiranto. Sedangkan lima korban meninggal lainnya dieksekusi menggunakan senjata tajam. Sampai kemarin sore, Tim Gabungan TNI – Polri belum berhasil mengevakuasi jenazah mereka. Wiranto memastikan, upaya evakuasi maupun pengejaran KKSB terus dilaksanakan oleh TNI bersama Polri. ”Akan terus kita kejar, kita kejar mereka, kita bersihkan mereka,” kata dia tegas. Menurut jenderal purnawirawan TNI itu, aksi KKSB di Nduga bukan hanya tindak kriminal. Melainkan sudah masuk kategori gerakan separatis bersenjata. ”Polisi maupun militer boleh ngejar,” lanjutnya. Sementara itu, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyampaikan, berdasar hasil penyelidikan oleh instansinya sementara ini, motif utama aksi KKSB adalah menunjukkan eksistensi kelompok mereka pada momen 1 Desember lalu. Hanya saja, pada perayaan kali ini modelnya berbeda dan lebih ekstrem. Tidak sebatas melakukan pengibaran bendera seperti tahun-tahun sebelumnya. Lantas, kenapa penyerangan tidak menyasar aparat dan justru menyerang pekerja konstruksi? Tito menyebut itu merupakan opsi kedua. ”Biasaya kalau menyerang yang diserang biasanya aparat. Kalau aparatnya sulit ya cari sasaran yang lemah,” ujar mantan Kapolda Papua ini. Terkait asal persenjataan, dia menyebut ada beberapa sumber. Mulai dari hasil perampasan terhadap anggota TNI atau Polri yang lengah, sisa persenjataan konflik Ambon yang masih tersisa di lapangan, sampai senjata-senjata selundupan dari daerah perbatasan di Papua Nugini. Dia pun menyampaikan, pasukan gabungan TNI-Polri telah diutus untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pasukan gabungan itu dipimpin langsung oleh kapolda dan pangdam di Papua. Dia tidak merinci jumlah pasukannya, namun dipastikan jauh lebih banyak dari kekuatan KKB di kawasan tersebut yang diperkirakan berjumlah 30 sampai 50 orang dengan 20 pucuk senjata. ”Mereka mungkin akan lari ke sekitar tempat-tempat lain. Ini sudah koordinasi untuk meningkatkan keamanan,” tuturnya. Masih adanya gerakan separatis di Papua, lanjut Tito, disebabkan belum terpenuhinya kesejahteraan masyarakat. Kesimpulan tersebut dia dapat setelah mengamati pergerakan kelompok separatis itu. Di mana di daerah-daerah yang berhasil dibangun, gerakan tersebut lenyap. ”Dulu kelompok bersjenjata lebih banyak dari daerah Manokwari. Tapi, dengan pembangunan saat ini tidak ada lagi di daerah-daerah itu,” imbuhnya. Di Nduga Tito menyebut, pembangunan masih tertinggal dan baru mulai dibangun dalam beberapa tahun belakangan. Sehingga dia menilai wajar apabila gerakan separatis di sana masih subur. Namun demikian dengan komitmen politik pemerintah untuk membangun Nduga, Tito berharap aksi tersebut bisa dihentikan. Sehingga tidak ada lagi korban jiwa akibat konflik KKSB dengan aparat keamanan maupun pemerintah. Secara tegas, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah tidak memberi ruang bagi KKSB di Tanah Air. Hal tersebut disampaikan presiden saat memberikan keterangan pers terkait penyerangan serta penembakan oleh KKSB di Papua. ”Saya tegaskan bahwa tidak ada tempat untuk kelompok-kelompok kriminal bersenjata seperti ini di tanah Papua maupun di seluruh pelosok tanah air,” ujarnya di Istana Merdeka. Presiden juga telah memerintahkan jajarannya untuk mengejar dan menangkap seluruh pelaku penyerangan. ”Saya juga telah memerintahkan kepada panglima TNI dan kapolri untuk mengejar dan menangkap seluruh pelaku tindakan biadab tersebut,” kata dia. Selain itu, Presiden memastikan bahwa pembangunan jalan Trans Papua sepanjang kurang lebih 4.600 kilometer yang saat ini tengah berjalan akan tetap dilanjutkan. Pemerintah akan terus berupaya membangun tanah Papua  dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ”Kita juga tidak akan pernah takut. Dan ini malah membuat tekad kita kian membara untuk melanjutkan tugas besar kita membangun tanah Papua,” terang Jokowi. Dia menceritakan, pemerintah memang menghadapi tantangan tersendiri dalam membangun Papua. Medan yang sangat sulit sering membuat para pekerja kesulitan untuk mengangkut logistik dari satu titik ke titik lain. Tidak hanya itu, para pekerja juga tidak jarang mengalami kendala karena faktor keamanan. Meski demikian, Presiden Jokowi menegaskan kembali bahwa proyek pembangunan di Papua akan terus berjalan sampai tuntas. Semua dilakukan demi membuka akses- akses di daerah yang sebelumnya terisolir. Anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengungkapkan perlu langkah yang lebih serius dan tegas untuk mengakhiri konflik di Papua. Dia menyebutkan penegakan hukum jadi kuncinya. Polisi bisa menjadi koordinator penyelesaian kasus itu. Militer bisa dilibatkan bila memang ada banyak bukti kuat yang mengarah kasus itu pada tindakan separatisme. ”Kalau ada bukti yang mengarah hal tersebut (separatisme), TNI bisa dilibatkan,” ujar Beka kemarin. Koordinator subkomisi pemajuan HAM itu menuturkan pihaknya juga sedang mengumpulkan data-data awal terkait kasus pembunuhan terhadap pekerja pembangunan jembatan di Nduga. Bahkan, kemungkinan Komnas HAM juga akan turun langsung ke sana. ”Sekarang sedang mengumpulkan informasi, data dan fakta. Kalau situasinya kondusif tentu saja dimungkinkan (meninjau lokasi, Red),” tambah dia. Konflik bersenjata di Papua belum bisa benar-benar diselesaikan hingga kini. Menurut dia, akar persoalannya adalah ketidakadilan dan perlakuan yang tidak setara pada masyarakat Papua. Selain itu juga perlu memberikan perlindungan dan penghormatan hak sipil politik mereka. ”Mereka bisa mengutarakan pendapatnya secara aman tanpa intimidasi dan ancaman kekerasan, tidak ada stigmatisasi, partisipasi dalam perencanaan pembangunan,” kata alumnus Universitas Muhammadiyah Malang itu. Selain itu, penyelesaian konflik juga harus komprehensif, tidak hanya pendekatan keamanan dan pendekatan pembangunan infrastuktur saja. ”Tetapi juga harus mencakup sosial budaya dan perlindungan hak-hak sipil politik juga,” imbuh dia. Senada dengan Komnas HAM, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga meyakini pendekatan infrastruktur di Papua tidak cukup untuk mengatasi konflik kekerasan bersenjata. Koordinator KontraS Yati Andriyani menuturkan pendekatan pembangunan infrastruktur yang menjadi ambisi pemerintah di Papua tidak serta merta dapat memulihkan situasi keamanan dan menyelesaikan kekerasan di tanah Papua. Sebab, persoalan di Papua tidak hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan. ”Karena tidak ada upaya serius untuk mendialogkan dan mencari jalan keluar atas soal ini,” ujar Yati. Sementara penegakan hukum untuk kekerasan, pelanggaran ham di Papua tidak juga dilakukan. ”Impunitas terus terjadi. Hak-hak kebebasan berkumpul berekpresi juga dibatasi,” imbuh dia. Yati menilai kekerasan dan pembunuhan di Nduga menjadi bagian tidak terpisahkan dari terus dipeliharanya rantai dan lingkaran kekerasan di Papua. Sering kali warga sipil menjadi target paling rentan dalam setiap aksi kekerasan, baik oleh aparat ataupun oleh kelompok bersenjata pro kemerdekaan. Maka, menurut KontraS perlu juga memperhatikan dan mengutamakan perlindungan masyarakat sipil. Selain itu tidak menyasar apalagi menggunakan kekerasan terhadap warga sipil Papua yang kerap distigma sebagai pendukung kelompok separatis. ”Cara– cara seperti ini seringkali terjadi dalam penanganan konflik di Papua sebelumnya yang berujung pelanggaran HAM dan memupuk mata rantai kekerasan,” tambah dia. (far/idr/jun/nis/syn)

Sumber: