BIN Cuma Bikin Gaduh, Terkait Laporan Masjid Terpapar Radikalisme
JAKARTA-- Radikalisme masih menjadi masalah serius di Indonesia. Rentetan kejadian teror ini menjadi alarm bagi aparat kepolisian dan pemerintah. Terbaru, Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkapkan ada beberapa masjid di lingkungan Pemerintahan terkapar radikalisme. "Informasi tersebut langsung diumumkan oleh pihak BIN ke publik. Pengumuman seperti itu malah akan menimbulkan kecurigaan. Harus jelas, apa kriteria-kriteria yang telah diterapkan sehingga bisa mengambil kesimpulan, ada terpapar radikalisme di perguruan tinggi, di pesantren dan lain-lain," kata Wakil Ketua DPR-RI, Fadli Zon kepada wartawan di Gedung DPR-RI, Rabu (21/11). Menurut politisi Partai Gerindra itu, informasi terkait radikalisme di masjid ini akan menimbulkan kegaduhan baru di tengah-tengah masyarakat, meski informasi tersebut datang dari aparat keamanan (BIN-red). Dikatakan Fadli Zon, BIN harus menjelaskan kriteria-kriteria radikalisme itu seperti apa, karena semua itu sudah dibiayai oleh negara. " Saya kira pengumuman-pengumuman seperti ini justru membuat kegaduhan baru. Karena kita tidak jelas kriteria-kriterianya seperti apa. Sebenarnya adalah tugas daripada aparatur intelijen, sekaligus ada program yang memang dibiayai juga oleh APBN, apa yang disebut sebagai deradikalisasi. Jadi harusnya program itu yang harusnya dievaluasi, apakah program ini berjalan atau tidak deradikalisasi ini", ujarnya. "Saya kira dengan memberikan pengumuman-pengumuman seperti ini akan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan baru, saling curiga, dan tidak menyelesaikan persoalan," imbuhnya. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu, intelijen itu kerjanya silent dan tidak terbuka seperti saat ini. Untuk itu, perlu diperjelas lagi apa maksud dari pengumuman tersebut. Selain itu,harus ada transparan terkait maksud dari terpapar radikalisme. Kondisi seperti ini, kata Fadli Zon akan membuat gaduh dan orang yang tidak terlibat dalam aksi radikalisme bisa tertuduh. Sementara itu, Wakil Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid mengaku heran dengan langkah BIN yang mengumumkan beberapa masjid terpapar radikalisme. Pasalnya, data yang diperoleh oleh BIN, itu bersumber dari orang, bukan hasil temuan mereka di lapangan. Lebih aneh lagi, data yang diperoleh oleh BIN itu nampaknya tanpa klarifikasi dan verifikasi dan langsung diumumkan. Menurutnya, BIN harusnya punya data sendiri yang independen. Data itu diberikan ke Presiden. Sebab, usernya bukan masyarakat. "Jadi aneh kalau kemudian BIN pakai data yang lain, kemudian tanpa klarifikasi, tanpa verifikasi kemudian itu seolah-olah data kebenaran dan disuarakan ke publik. Menurut saya, itu tindakan yang justru menteror masyarakat, menghadirkan perilaku yang tidak membantu menyelesaikan radikalisme. Kalau memang BIN meyakini ada informasi, jangan diumbar ke publik, usernya ke Presiden, atau ke DPR Komisi I," papar Hidayat Nur Wahid. Meski begitu, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mendukung aparat keamanan memberantas radikalisme, tapi dengan cara benar. Sebelumnya, BIN melansir laporan, sebanyak 41 masjid milik pemerintah di DKI Jakarta dipastikan telah terpapar radikalisme. Terkait itu, Juru Bicara BIN, Wawan Purwanto menegaskan, yang terpapar radikalisme yaitu para penceramahnya bukan masjidnya. Setidaknya ada sekitar 50 penceramah yang terpapar paham radikalisme. "Konten ceramahnya kami temukan mengarah ke radikal. Dalam setahun kan udah ada data penceramahnya siapa aja. Masjidnya tidak radikal, hanya penceramahnya," ujar Wawan di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (20/11). Dia mengklaim, BIN memiliki parameter untuk mengklasifikasikan seseorang telah terpapar radikalisme. Mulai dari tingkat ringan, sedang hingga berat. Bentuk paparannya pun beragam, mulai dari mengafirkan seseorang, hingga mengarah pada gerakan radikalisme. "Radikalnya seperti mengafirkan orang lain, membawa semangat radikal terkait ideologi melawan Pancasila," imbuh Wawan.(RBA/FIN/sat/JPC)
Sumber: