Pajak Sebagai Penangkal Penyakit Belanda
TangerangEkspres.co.id-Masyarakat luas mengenal negara-negara di Jazirah Arab sebagai negara yang membebaskan warganya dari pajak. Negara-negara di kawasan tersebut kaya akan minyak dan sumber daya alam serta memperoleh pendapatan negara yang signifikan dari sumber tersebut. Administrator Peningkatan Kapasitas pada Direktorat Jenderal Pajak, Suryo Prasetya Riyadi mengatakan, dengan adanya pendapatan yang signifikan dari sumber daya alam, banyak negara di Jazirah Arab tidak memberlakukan pajak bagi warga negaranya. "Namun, mulai 2018 terjadi reformasi pajak besar-besaran di Jazirah Arab. Sebagian besar negara di kawasan tersebut mulai memberlakukan pajak. Uni Emirat Arab (UEA) memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 5 persen bagi mayoritas barang dan jasa. Setahun kemudian Bahrain menyusul UEA dengan memberlakukan PPN dengan tarif yang sama," ujarnya kepada TangerangEkspres.co.id, Sabtu, 24 Juni 2023. Suryo menambahkan, yang terbaru, pemerintah UEA juga telah memberlakukan pajak korporasi sebesar 9 persen per 1 Juni 2023 bagi perusahaan dengan laba kena pajak di atas AED 375.000 atau setara dengan Rp 1,5 miliar per tahun. "Senada dengan UEA, mulai 1 Januari 2018, Arab Saudi juga mulai memberlakukan PPN dengan tarif yang lebih tinggi yaitu sebesar 15 persen untuk barang dan jasa kena pajak dan menerapkan pajak korporasi sebesar 20 persen," tambahnya. Berbeda dengan tetangganya, Qatar sampai saat ini belum memberlakukan PPN. Pajak yang berlaku di negara tersebut hanya berupa PPh badan sebesar 10 persen yang telah berlaku sejak 1 Januari 2019. Oman sebagai negara paling bungsu yang memberlakukan pajak, mulai menerapkan PPN dengan tarif 5 persen per April 2021 dan berencana menerapkan PPh orang pribadi mulai 2024. "Adanya reformasi pajak besar-besaran di kawasan tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Bermula dari laporan yang dirilis oleh International Monetary Fund (IMF) pada 2016 yang menyatakan bahwa tengah terjadi perlambatan ekonomi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, masalah tersebut akan berlangsung terus menerus apabila negara tidak segera menemukan sumber pendapatan baru," jelasnya. Menurutnya, IMF merekomendasikan negara-negara tersebut untuk memperluas basis pajaknya termasuk dengan memperkenalkan PPN. Hal tersebut dianggap akan mampu memecahkan masalah perlambatan ekonomi yang sedang terjadi serta sebagai langkah antisipatif untuk mengurangi defisit anggaran apabila harga minyak bumi mengalami penurunan. Masalah perlambatan ekonomi di negara yang sangat bergantung pada pendapatan sumber daya alam bukanlah hal baru. Pada tahun 1970-an, dalam harian The Economist muncul istilah ekonomi yang dikenal dengan Dutch disease alias penyakit Belanda. "Dutch disease terjadi setelah ditemukannya cadangan gas terbesar di Eropa, tepatnya di kota Groningen, Belanda," ungkapnya. Suryo mengungkapkan, dengan ditemukannya cadangan gas tersebut, terjadi lonjakan pendapatan negara dari sektor migas, disusul dengan peningkatan ekspor dari hasil ekstraksi gas, sehingga mata uang Belanda menjadi sangat kuat. Bukannya berdampak positif, penguatan mata uang yang terjadi malah menimbulkan bencana bagi Belanda. Sektor di luar ekstraksi sumber daya alam, seperti manufaktur dan pertanian menjadi tidak kompetitif karena adanya penguatan mata uang. "Ini menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan, penurunan produksi dan ekonomi Belanda terfokus hanya pada satu sektor. Akibatnya, ketika harga komoditas jatuh ekonomi akan sulit untuk pulih sehingga dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya krisis," tuturnya. Miris, bukannya menjadi berkah, sumber daya alam yang melimpah malah menimbulkan bencana. Untuk itu, diperlukan strategi pengelolaan pendapatan negara yang baik sehingga dapat tercipta ketahanan fiskal jangka panjang, salah satunya dengan cara perluasan basis pajak. "Ketika suatu negara sangat bergantung pada pendapatan dari ekspor sumber daya alam, negara tersebut mungkin akan abai dalam mengembangkan basis pajaknya. Padahal, pajak memiliki fungsi stabilitas yang memainkan peranan penting dalam keseimbangan perekonomian suatu negara," jelasnya. Kita bisa belajar dari salah satu negara Skandinavia yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki ketahanan fiskal yang kuat yaitu Norwegia. Negara pemilik cadangan migas terbesar kedua di Eropa ini berhasil mengelola pendapatan migas di negaranya dan membentuk sovereign wealth fund (SWF) yang dikenal dengan Oljefondet atau Oil Fund. Tujuan pembentukan SWF tersebut adalah untuk menginvestasikan kembali sebagian besar pendapatan dari sektor migas di Norwegia yang mayoritas berasal dari pajak perusahaan migas dan izin untuk mengeksplorasi migas. "Oil Fund adalah salah satu SWF terbesar di dunia yang telah berhasil membantu mengamankan stabilitas keuangan Norwegia dalam jangka panjang. SWF yang dibentuk mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor lain, yang berdampak pada tumbuhnya perekonomian dari sektor non migas," katanya. Selain itu, penerapan sistem kesejahteraan sosial yang kuat juga membuat pemerintah Norwegia dianggap berhasil mendistribusikan kembali kekayaan dan menciptakan stabilitas ekonomi. Bersamaan dengan pengelolaan SWF yang baik, Norwegia juga menerapkan kebijakan perpajakan yang dianggap sukses. Menurut data OECD, Norwegia adalah salah satu negara dengan tax ratio yang cukup tinggi dan disaat yang bersamaan menjadi negara dengan rasio gini yang rendah. "Rasio gini yang rendah menandakan bahwa ketimpangan penghasilan pada suatu negara juga rendah. Salah satu kebijakan perpajakan yang diterapkan di Norwegia adalah dengan menerapkan tarif pajak progresif. Pajak progresif berarti seseorang atau perusahaan yang memiliki penghasilan tinggi juga akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi," ungkapnya. Selanjutnya, Norwegia juga memanfaatkan sektor non migas sebagai basis perpajakan baru di negaranya. Sektor-sektor lain yang berhasil tumbuh melalui investasi dana SWF menjadikan basis perpajakan di Norwegia semakin luas. Norwegia juga menerapkan pajak yang cukup unik dan belum banyak negara yang menerapkannya yaitu wealth tax. "Wealth tax atau pajak atas kekayaan adalah pajak yang dikenakan atas kekayaan bersih individu atau korporasi yang dasar pengenaan pajaknya adalah total aset yang dimiliki dikurangi liabilitas atau utang. Konsep tersebut hampir sama dengan zakat atas harta atau zakat mal seperti yang sudah kita kenal," terangnya. Yang terbaru, Norwegia juga telah menerapkan pajak lingkungan atau green tax dengan tujuan untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi sehingga beralih kepada aktivitas ekonomi rendah karbon. Dari Norwegia kita dapat mengambil kesimpulan bahwa apabila suatu negara memiliki basis perpajakan yang kuat, sumber daya alam yang melimpah dapat diatur sedemikian rupa sehingga menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan pajak atau royalti khusus sehingga negara memperoleh pendapatan yang cukup dan kemudian dapat digunakan untuk mendanai infrastruktur, pendidikan, atau sektor lainnya. Kebijakan tersebut dapat mengurangi ketergantungan terhadap pendapatan sumber daya alam dan menciptakan stabilitas ekonomi. "Selain itu, penerapan green tax juga membantu memperluas basis pajak, mengurangi pemanasan global dan mengendalikan perubahan iklim sehingga dalam jangka panjang dapat tercipta iklim ekonomi yang kuat, berkeadilan, namun tetap ramah lingkungan," tutup alumni jurusan Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) ini. (*) Reporter : Tri Budi
Sumber: