Bolehkah Melakukan Perayaan Isra Mikraj?

Bolehkah Melakukan Perayaan Isra Mikraj?

TANGERANGEKSPRES.CO.ID - Menjadi keyakinan bagi seluruh umat Islam bahwa peristiwa Isra Mikraj merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah yang amat penting. Hal itu menunjukkan kebenaran Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan menandakan pentingnya kedudukan penutup para nabi tersebut di sisi Allah subhanahu wa taala. Dikutip dari asysyariah.com, Allah subhanahu wa taala berfirman yang artinya, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Isra: 1) Telah diriwayatkan juga secara mutawatir dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau diangkat ke langit dan dibukakan untuknya pintu-pintu langit hingga beliau sampai ke langit yang ketujuh. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala berbicara langsung dengan beliau dengan apa yang Allah kehendaki. Kala itu, Allah mewajibkan kepada beliau salat lima waktu. Awal mulanya Allah mewajibkan sebanyak lima puluh kali salat. Akan tetapi, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam berulang-ulang kali memohon agar dikurangi hingga Allah menjadikannya lima waktu. Ini berarti lima salat yang diwajibkan, tetapi dengan lima puluh kali pahala. Sebab, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Namun untuk waktu kejadian Isra Mikraj, tidak ada keterangan secara pasti dalam hadis-hadis yang sahih apakah terjadi pada bulan Rajab atau bulan lainnya. Semua riwayat yang menyebutkan ketentuan waktunya tidak ada yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam menurut para pakar ahli hadis. Tentu saja Allah memiliki hikmah yang agung di balik itu semua bagi manusia. Jika pun diketahui kapan terjadinya, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkan malam tersebut dengan suatu ibadah. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya dan mengkhususkannya. Seandainya memperingatinya adalah disyariatkan, pasti sudah dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umat ini, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling peduli terhadap kebaikan manusia. Beliau telah menyampaikan (syariat) secara sempurna dan telah menunaikan amanahnya. Seandainya menyakralkan dan merayakan malam tersebut termasuk bagian dari agama (ibadah), pasti Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melalaikannya dan tidak menyembunyikannya. Berarti, ketika itu semua tidak pernah terjadi, menjadi jelas bahwa merayakan dan menyakralkan malam tersebut bukan bagian dari Islam sama sekali. Allah sudah menyempurnakan agama Islam bagi umat ini. Dia juga telah menyempurnakan nikmat-Nya bagi umat ini. Allah pun mengingkari orang yang membuat syariat dalam agama ini dengan sesuatu yang tidak diinginkan oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitab-Nya al-Mubin (yang terang) pada surah al-Maidah (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3) Allah juga berfirman dalam surah asy-Syura (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (asy-Syura: 21) Di samping itu, telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadis-hadis yang sahih tentang larangan keras terhadap amalan-amalan bidah. (Telah diriwayatkan pula dari beliau) keterangan bahwa bidah tersebut adalah kesesatan, sebagai peringatan bagi umat ini akan betapa besar bahayanya. Diantaranya ialah hadits Aisyah radhiallahu anha bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa yang mengadakan perkara baru dalam agama kami yang bukan dari agama ini, maka perkara itu ditolak.” Dalam riwayat Muslim, “Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami, amalannya tertolak.” Begitu pula dalam Shahih Muslim dari sahabat Jabir radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam khotbahnya pada hari Jumat (yang artinya), “Amma ba’du, sesungguhnya, sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Dalam riwayat an-Nasai dengan sanad yang bagus dengan penambahan, "Setiap kesesatan di neraka.” (*) Editor: Sutanto Ibnu Omo

Sumber: