Istana: Omnibus Law tak Rugikan Buruh
JAKARTA -- Istana Kepresidenan memastikan penyusunan omnibus law, terutama terkait ketenagakerjaan, tidak akan merugikan buruh. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, menjelaskan, penyusunan RUU cipta kerja ini bertujuan untuk membangun iklim investasi yang kondusif tanpa "menyakiti" pihak buruh dan pekerja. "Kalau dari Presiden, jelas tidak ada maksud untuk merugikan buruh. Bahkan, Presiden dengan jelas mengatakan, jangan sampai UMKM dan buruh dirugikan atau tersakiti dengan adanya RUU cipta kerja yang bersifat omnibus ini," kata Dini, Kamis (12/3). Terkait omnibus law cipta kerja yang masih memantik pro dan kontra ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah memastikan pemerintah tetap membuka ruang dialog untuk memberi masukan serta perbaikan meski draf sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Kami menyadari kalau ada yang mengkritisi atau bahkan mungkin menolak, kami harus terus banyak menjelaskan dan ini yang kami lakukan," kata Menaker. Kemenaker, kata dia, akan terus menyosialisasikan RUU cipta kerja kepada serikat pekerja dan serikat buruh, baik mengenai latar belakang maupun poin-poin penting yang ada di dalamnya. Menaker Ida mengapresiasi serikat pekerja dan buruh yang berkenan melakukan dialog, baik mendukung maupun mengkritisi RUU cipta kerja. Berbeda dengan Istana, Civitas akademika Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) RUU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap bisa berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hak-hak buruh. Dekan FH UII, Dr Abdul Jamil mengatakan, RUU Cipta Kerja itu memiliki berbagai permasalahan. Dari sisi teknis, pertama pilihan metode Omnibus Law. Sejatinya Omnibus Law merupakan metode dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan yang belum dikenal di Indonesia, yang diklaim pemerintah akan efisien. "Namun, klaim ini belum tentu benar atau tepat, ini mengingat belum ada data yang diberikan kepada publik terhadap keberhasilan metode Omnibus Law di negara-negara lain," kata Abdul kepada wartawan, Kamis (12/3). Lalu, kata Abdul, ada ketidaksesuaian antara judul dan isi. Sebab, bila dibaca konsideran RUU Cipta Kerja, maka substansinya memberikan berbagai kemudahan dan perlindungan berinvestasi. Berbagai kemudahan itu mulai dari bidang perpajakan, amdal dan perizinan, sehingga antara judul dan isi dari RUU tidak sinkron. Lalu, keterbukaan dari legislasi, regulasi, implementasi sampai eksekusi. Abdul menekankan, dalam proses legislasi RUU Cipta Kerja ini perlu diermati apakah pemangku-pemangku kebijakan atau target group sudah dilibatkan. Fase legislasi ini sangat penting. Kemudian, status undang-undang terkait karena RUU ini akan mengubah, menghapus atau menetapkan pengaturan terhadap 79 undang-undang. Kajian temui sekitar 500 pasal yang mendelegasikan ke Peraturan Pemerintah (PP). Lalu, secara substansi, ada kecenderungan sentralisasi karena RUU ini telah menggeser paradigma dalam UUPLH yang memberi kewenangan yang proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten, kota dan ditumpahkan ke pemerintah pusat. Selanjutnya, perlindungan lingkungan karena RUU ini mendefinisikan Amdal cuma sebagai kajian untuk digunakan sebagai pertimbangan. Artinya, tidak menentukan pengambilan keputusan tentang penyelenggaran usaha atau kegiatan. "Hal ini berarti Amdal ditempatkan sebagai pertimbangan, sehingga sifatnya menjadi fakultatif," ujar Abdul. Soal arah kebijakan investor, RUU Cipta Kerja menggunakan logika masuknya investor akan membuka lapangan pekerjaan. FH UII melihat masuknya investor ke Indonesia tentu bukan tanpa syarat-syarat. Menurut Abdul, RUU Cipta Kerja sangat menggambarkan betapa negara lemah di depan investor. Sebab, negara dipaksa tunduk terhadap kepentingan investor dengan mereformasi regulasi melalui RUU Cipta Kerja.FH UII menyimpulkan RUU Cipta Kerja memiliki masalah prosedur pembentukan dan substansial yang cukup serius. Kedua, FH UII meminta dan menuntut pemerintah dan DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Kemudian, FH UII menegaskan akan tetap konsisten mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Jika RUU ini disahkan, FH UII akan menempuh jalan konstitusional untuk menuntut pembatalannya.(rep)
Sumber: