Calon Tunggal Berpotensi Menang, Petahana Harus Diawasi Ketat
JAKARTA - Jumlah calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2020 diprediksi akan naik. Aturan membolehkan. Biaya yang besar menjadi salah satu alasan munculnya satu kandidat. Lembaga Riset Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif memproyeksikan jumlah calon tunggal akan naik. Seperti perhelatan sebelumnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan calon tunggal. Ketua Kode Inisiatif, Veri Junaidi mengatakan, calon tunggal terus mengalami peningkatan. Dari tiga daerah pada 2015, menjadi sembilan pada 2017 dan 16 daerah pada 2018. “Potensinya 2020 ini sangat mungkin kemudian naik dibanding periode sebelumnya," tutur Veri Junaidi di Jakarta, Rabu (15/1). Menurut dia, selain terdapat kecenderungan meningkat, calon tunggal menjadi strategi untuk memenangkan pilkada dengan mudah. Hampir seluruh pilkada dengan calon tunggal kerap menang. Kecuali dalam Pilkada Kota Makassar 2018. Sebelum terdapat Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang menguji UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Pilkada mengharuskan minimal dua pasang calon dalam penyelenggaraan pilkada. Apabila terdapat calon pasangan tunggal, pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda pada tahun berikutnya. Kode Inisiatif menyebut untuk partai politik, Pilkada 2020 merupakan pondasi awal menyusun kekuatan menghadapi Pemilu Serentak 2024. Kemenangan dalam pilkada akan menjadi modal untuk pemenangan Pemilu 2024 dengan menggunakan kekuatan kepala daerah dan potensinya. Terpisah, Akademisi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarok mengatakan, setiap kandidat yang maju dalam pemilihan kepala daerah dipastikan perlu modal besar. Mereka yang tidak mampu, tentu akan berpikir dua kali. Terutama menghadapi incumbent. “Secara teori harapan dua kandidat itu bagus. Biar pilkada kompetitif. Tapi fakta di lapangan tidak mudah. Untuk pemilihan bupati atau walikota saja, calon bisa habis Rp 25 miliar. Belum pemilihan gubernur yang sampai ratusan miliar rupiah. Apakah KPU mau membantu membiayai agar calon lebih dari satu? ujar Zaki kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Rabu (15/1). Menurutnya, itu menjadi problem tersendiri yang harus dipikirkan lembaga penyelenggara pemilu. Ia menegaskan, tidak semua partai dan warga negara yang ingin maju dalam kontestasi lima tahunan punya modal sebesar itu. “Jika aturan tersebut bisa direalisasikan, akan muncul fenomena baru. Yakni calon-calon boneka yang hanya menjadi pelengkap dan syarat sah. Apa juga mau dilarang? KPU harus mengatur kalau ingin aturannya membumi,” bebernya. Zaki berpendapat, munculnya satu pasangan calon dalam pilkada disebabkan kurang baiknya kaderisasi yang dilakukan partai politik. Persoalan utamanya terletak pada politik biaya tinggi. “Banyak kader yang hebat tidak bisa maju karena nggak punya duit. Itu masalahnya. Apa harus ngutang dulu ke bank? KPU ditantang menemukan solusinya,” tandasnya. DPR meminta penyelenggara pemilu mengawasi petahana yang maju kembali pada Pilkada Serentak 2020. Penyalahgunaan wewenang sebagai kepala daerah dikhawatirkan terjadi. Jika perlu, pengawasan juga sampai pada tahap seleksi panitia ad hoc yang dilaksanakan bulan ini. Anggota Komisi II DPR Kamrussamad mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus lebih jeli mengawasi petahana. Hal ini karena petahana dinilai memiliki posisi strategis dalam menggunakan wewenang. “Bawaslu dan KPU harus awasi betul. Yang ada incumbent (petahana) harus dipantau ketat, agar tidak ada titipan. Termasuk seleksi panitia ad hoc,” ujar Kamrussamad di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/1). Hal senada juga disampaikan anggota Komisi II lainnya, Johan Budi. “Incumbent kalau ikut lagi bisa mempengaruhi aparatur. Bukan cuma itu, termasuk ad hoc. Itu bisa ada campur tangan dari incumbent,” jelas Johan. Di tempat sama, Hanan Razak memaparkan, pemanfaatan Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh petahana masih sangat masif. Menurutnya, penyelenggara pemilu harus melakukan pengawasan sejak dini. Salah satunya, soal mutasi yang kerap terjadi jelang pilkada. “Bahkan, ada pergerakan untuk memenangkan incumbent. Tunjangan RT naik. Bahkan ada perekrutan hansip. Satu desa bisa 10 sampai 15 hansip. Ini pasti dimanfaatkan oleh incumbent,” bebernya. Selain petahana, hal ini juga berlaku bagi ada anggota keluarga. Misalnya istri atau anak incumbent yang ikut kontestasi Pilkada 2020. “Ini juga perlu diperhatikan. Harus diawasi, bupati atau walikota yang keluarganya maju,” tegasnya. Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan, pihaknya sudah menerbitkan surat edaran (SE) untuk larangan mutasi jabatan. Yakni sejak delapan Januari lalu. Ia juga mengakui, jika mobilisasi ASN menjadi salah satu perhatian Bawaslu. “Potensinya memang sangat tinggi. Tapi jika ada yang berani mutasi setelah tanggal 8 Januari, sanksinya berat. Sampai diskualifikasi apabila memang benar terbukti,” papar Abhan. Ia mendapat laporan pada 7 Januari 2029, ada 202 daerah yang melakukan mutasi. “Bahkan saya dapat info kalau malam juga ada mutasinya. Ini pasti jadi perhatian kami agar Pilkada 2020 berjalan dengan baik,” tandasnya. (fin)
Sumber: