UU KPK Hasil Revisi Berlaku Mulai Kemarin, Belum Ada Dewas, Masih Boleh Nyadap
JAKARTA- Mulai Kamis (17/10) UU KPK hasil revisi berlaku. Sebagai penegak hukum, lembaga antirasuah wajib taat. Salah satu kewenangan yang masih bisa dijalankan adalah penyadapan. Lantaran, belum dibentuk dewan pengawas (dewas). Tapi, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah tidak boleh menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik). Namun, hal itu tidak lantas melepas berbagai persoalan yang bersumber dari aturan tersebut. Sejumlah kritik masih terus bermunculan. Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman bahkan menyebut revisi UU KPK tidak sah, lantaran pembetulan kesalahan penulisan tidak melalui rapat paripurna DPR. Boyamin menjelaskan, kesalahan penulisan terkait persyaratan usia pimpinan KPK terdapat pada pasal 29 ayat e yang ditulis 50 tahun, tapi di dalam kurung ditulis empat puluh tahun. ”Permasalahan ini menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang sebenarnya berlaku apakah angka ‘50’ atau huruf ‘empat puluh’?,” kata Boyamin. Walau sepele, namun kesalahan itu harusnya diselesaikan lewat mekanisme yang benar. Menurut Boyamin, cara yang dipakai DPR tidak tepat. Sebab, untuk membetulkan kesalahan penulisan dalam UU harus melalui rapat paripurna DPR. ”Produk rapat paripurna hanya diubah dengan rapat paripurna,” ujarnya. Atas dasar itu, dia menyebut UU KPK hasil revisi DPR menjadi tidak sah dan batal demi hukum. Dia mencontohkan kesalahan penulisan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) atas perkara Yayasan Supersemar. Dalam putusan tersebut tertulis Rp 139 juta yang semestinya Rp 139 miliar. ”Butuh upaya peninjauan kembali untuk membetulkan kesalahan penulisan itu,” terang Boyamin. Terkait kritik yang disampaikan oleh Boyamin, anggota DPR Irma Suryani menyebut, boleh saja ada pihak yang menyatakan bahwa UU KPK tidak sah karena ada kesalahan tulis. Tapi yang jelas, kata dia, UU tersebut sudah berlaku mulai kemarin. Irma tegas menyatakan, KPK sudah harus mengacu pada peraturan baru tersebut. Politikus Partai Nasdem itu menuturkan, jika ada yang berpendapat UU itu cacat hukum karena koreksi tidak melalui paripurna, mereka dapat mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). ”Biarlah MK yang mengujinya,” terang dia saat ditemui usai acara diskusi di kawasan Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Dia juga menyebutkan, hanya MK yang mempunyai kewenangan untuk menguji UU yang sudah disahkan. Jadi, masyarakat yang tidak setuju bisa mengajukan uji materi ke MK. Mereka tidak perlu khawatir akan kalah atau gugatannya tidak dikabulkan. ”Ajukan saja dulu ke MK. Tidak boleh merasa seperti itu,” ungkapnya. Akan banyak pakar yang akan mendampingi. Para hakim MK lah yang nanti akan melihat dan menguji gugatan uji materi itu. Terpisah, Ketua Fraksi PPP Arsul Sani mengungkapkan sampai sekarang Presiden Joko Widodo memang belum menandatangani UU KPK hasil rervisi. Meski demikian, kata dia, UU tersebut tetap berlaku per Kamis kemarin. Sebab sesuai UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, suatu rancangan UU yang telah mendapat persetujuan pemerintah dan DPR maka dalam waktu 30 hari, UU tersebut otomatis berlaku sebagai undang-undang. Ketentuan tersebut dijelaskan dalam pasal 73 UU 12/2011. ’’Maka hari ini (kemarin, Red) UU KPK hasil revisi sudah berlaku,” jelas Arsul Sani di kompleks parlemen. Dia mengaku tidak tahu-menahu mengapa UU KPK belum ditandatangani presiden sampai sekarang. Yang pasti, ujar dia, Presiden Jokowi terus mendengar berbagai pendapat publik. Baik pihak yang menolak penerbitan perppu maupun suara kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa yang mendesak perppu. Bagaimana dengan kesalahan ketik pada sejumlah pasal? Menurut Arsul, kesalahan ketik atau typo adalah hal biasa dalam penyusunan UU. Adapun kesalahan pengetikan, papar dia, tidak menghalangi pemberlakukan UU setelah 30 hari disetujui DPR dan pemerintah. Apalagi sekretariat DPR, tambahnya, telah melakukan pembetulan pada sejumlah typo. ’’Sekarang naskahnya sudah dikirim balik ke Sekretariat Negara,” kata Arsul. Asrul juga menanggapi penilaian yang menyebut KPK sekarang tidak bisa melakukan penyadapan. Dia menuding itu sebagai informasi yang menyesatkan. Menurut dia, KPK masih tetap bisa melakukan penyadapan. Sebab sejauh ini dewan pengawas belum terbentuk. Dalam pasal 69 UU KPK hasil perubahan menyebutkan bahwa dalam hal dewan pengawas belum dibentuk, maka pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan bedasarkan ketentuan yang berlaku sebelum UU tersebut diberlakukan. Sehingga dewan pengawas belum dibentuk hingga sekarang, KPK boleh saja melakukan penyadapan hingga melakukan OTT. ’’Tentu memang tidak boleh lagi (ada penyadapan, Red) setelah nanti dibentuk dewan pengawas,” papar wakil ketua MPR itu. Lebih jauh dia berharap UU KPK tidak dibatalkan oleh perppu. Sebab jika pun presiden mengeluarkan, sambung dia, belum DPR akan menerima. Sebab perppu yang diajukan presiden harus melaui pertimbangan DPR. ’’Jika DPR menolak perppu itu kan persoalan tidak akan pernah selesai. Jadi biarkan saja UU ini diterapkan dulu,” imbuh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP itu. Dari kaca mata hukum tata negara, Bivitri Susanti menyampaikan bahwa kesalahan penulisan syarat usia pimpinan KPK tidak serta merta membikin UU KPK batal atau revisi UU KP tidak sah. Namun, dia sepakat dengan MAKI yang menyebut perbaikian kesalahan itu harus lewat cara-cara yang benar. ”Dan menurut saya seharusnya tidak diperbaiki dengan cara yang sifatnya informal seperti kemarin,” kata dia kepada Jawa Pos. Namun begitu, Bivitri juga tidak menyalahkan pandangan MAKI. Argumen seperti yang disampaikan Boyamin, lanjut dia, sah-sah saja disampaikan. Hanya apa pun itu UU KPK sudah berlaku efektif. ”Buat saya memang UU itu bermasalah dan nanti akan semakin bermasalah karena ada satu komisioner yang tidak bisa diangkat,” terang dia. Komisioner yang dimaksud oleh Bivitri adalah Nurul Ghufron. Apabila pelantikan komisioner KPK dilaksanakan Desember tahun ini, usia Ghufron masih 45 tahun. Tidak memenuhi syarat usia minimal pimpinan KPK 50 tahun. Menurut Bivitri, itu adalah salah satu dampak UU KPK yang baru. Disamping itu, ada banyak masalah yang bisa jadi membuat kerja-kerja lembaga antirasuah terganggu. Misalnya penerbitan sprindik. Mulai kemarin pimpinan KPK tidak berhak menandatangani sprindik. Sebab, dalam UU KPK yang baru pimpinan KPK tidak berstatus penyidik maupun penuntut umum. Pahadal, dalam UU KPK sebelumnya, status itu melekat kepada setiap pimpinan KPK. ”Itu dihilangkan dalam revisi,” ujarnya. Dengan begitu, pimpinan KPK juga tidak bisa memulai tahapan awal dalam hukum acara pidana. Jika tetap mengeluarkan sprindik, tersangka bisa mengajukan pra peradilan dan lolos dari jeratan hukum. Tidak heran, kemarin Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa pihaknya telah membuat peraturan komisi untuk mengantisipasi dampak-dampak penerapan UU KPK yang baru. Salah satu yang diatur dalam peraturan itu adalah kewenangan mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik). ”Yang tanda tangan (persetujuan) sprindik nanti deputi penindakan,” kata Agus. Selama ini, persetujuan sprindik ditandatangani pimpinan. Baru kemudian turun ke deputi penindakan dan direktur penyidikan, Agus menyebut, peraturan komisi itu belum ditandatangani. Karena itu, lembaga komisi antirasuah belum menerapkan rencana antisipasi tersebut. ”Di KPK masih bekerja seperti biasa,” terangnya. Agus pun memastikan aktivitas di KPK saat ini masih sama seperti hari-hari sebelum UU KPK baru berlaku. Pun, operasi tangkap tangan (OTT) masih bisa dilakukan bila ada penyelidikan yang dianggap telah memenuhi syarat. ”Misalkan ada penyelidikan yang sudah matang perlu ada OTT, ya harus dilakukan OTT,” paparnya. Lebih jauh, Agus menegaskan pihaknya masih berharap Presiden Joko Widodo mengeluarkan perppu untuk mengatasi kerancuan UU KPK hasil revisi. ”Kami masih berharap, kami masih memohon mudah-mudahan bapak presiden setelah dilantik, memimpin kembali kemudian beliau bersedia mengeluarkan perppu yang sangat diharapkan oleh KPK dan orang banyak,” imbuh dia. Sementara itu, lambatnya proses penerbitan Perppu KPK memaksa mahasiswa kembali turun ke jalan, kemarin (17/10). Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI memadati jalan merdeka barat untuk mendesak Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perppu. ”Kita mendesak Pak Jokowi untuk segera mengeluarkan Perppu KPK dan mengembalikan pada Undang-Undang KPK sebelumnya,” ujar koordinator lapangan yang juga Ketua BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Muhammad Abdul Basit. Aktivis yang akrab disapa Abbas itu menambahkan, jika presiden membiarkan UU KPK berlaku tanpa mengeluarkan Perppu, itu sama dengan mengkhianati Nawacitanya terkait agenda pemberantasan korupsi. Selain itu, kepastian soal Perppu juga akan memperlihatkan sikap politik presiden. ”Keberpihakannya antara partai politik atau masyarakat Indonesia?” imbuhnya. Soal sikap pemerintah yang belum juga memenuhi tuntutannya, Abbas menegaskan mahasiswa akan terus mengawal tuntutan tersebut. Meski intensitas aksi terkesan melemah, dia memastikan koordinasi antar BEM masih terus berjalan. Dia memastikan perlawanan akan terus diperjuangkan. Disinggung soal jumlah masa aksi yang jauh dari rencana, Abbas mengakuinya. Dia menilai, hal itu tidak lepas dari upaya penggembosan yang dilakukan aparat dan negara. Misalnya wacana pelarangan aksi yang terus digelontorkan kepolisian. Hal itu, menjadi tekanan bagi sebagian mahasiswa. Padahal, lanjut dia, tidak ada mekanisme izin kepolisian dalam aksi. Namun cukup pemberitahuan. ”Aksi adalah hak kita sebagai warga negara yang harus dijamin,” tuturnya. (far/lum/mar/syn/tyo)
Sumber: