BJB NOVEMBER 2025

Konsumen Jangan Dipaksa Pakai Nontunai

Konsumen Jangan Dipaksa Pakai Nontunai

PEMBAYARAN NON TUNAI: Salah satu warga melakukan pembayaran secara non tunai di salah cafe yang ada di Anyer, Kabupaten Serang, belum lama ini.--

TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Digitalisasi sistem pembayaran atau cashless menuai banyak perhatian masyarakat, termasuk adanya sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan momen saat seorang nenek ditolak membayar menggunakan uang tunai (cash) di gerai Roti O Halte Transjakarta Monas, Jakarta belum lama ini.

Hal ini memunculkan keresahan warga mengenai kebijakan beberapa merchant atau perusahaan yang mulai menolak pembayaran uang tunai.

Pengamat Hukum Ekonomi Bisnis, Ahmad Imron, mengatakan, meski secara operasional menguntungkan perusahaan, ada batasan-batasan hukum dan sosial yang perlu diperhatikan agar kebijakan ini tidak merugikan masyarakat luas.

Imron menjelaskan bahwa secara hukum perdata, dasar penolakan uang tunai bersumber dari Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1320 KUHPerdata). Artinya, penjual dan pembeli bebas menyepakati cara bayar. Namun, ia menggaris bawahi bahwa hal ini tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa pemberitahuan.

"Secara hukum boleh (menolak tunai,red), selama sudah diinfokan di awal. Harus ada papan informasi yang jelas sebelum transaksi terjadi. Jangan sampai konsumen sudah dilayani, lalu di kasir dipaksa cashless tanpa ada pemberitahuan sebelumnya," katanya melalui pesan WhatsApp, Senin (22/12).

Menurutnya, memang benar bahwa sistem cashless diterapkan perusahaan untuk mencegah perampokan, uang palsu, hingga penggelapan oleh oknum pegawai. Namun, keamanan internal perusahaan harus tetap berjalan selaras dengan kemudahan akses bagi warga.

Maka dari itu, Edukasi menjadi kunci agar digitalisasi tidak berubah menjadi paksaan. "Ada pengecualian dalam aturan, misalnya jika ada keraguan akan keaslian uang atau jika metode pembayaran lain sudah disepakati di awal. Namun, sosialisasi harus tetap dikedepankan agar masyarakat tidak kaget," jelasnya.

Dengan begitu, masyarakat berhak bertanya dan memilih tempat belanja yang menyediakan metode pembayaran sesuai kemampuan Anda. Sementara bagi pelaku usaha, transparansi informasi sejak awal adalah kewajiban hukum agar tidak terjadi sengketa dengan konsumen di kemudian hari.

Menurutnya, penggunaan non tunai di Banten sudah cukup masif, namun untuk wilayah Banten Selatan belum cukup kuat khususnya bagi UMKM.  Menurutnya, belum masifnya transaksi nontunai di kalangan UMKM disebabkan oleh beberapa faktor, pertama belum semua pelaku usaha dan warga melek teknologi, pedagang kecil butuh uang tunai seketika untuk modal belanja harian.Lebih lanjut, untuk transaksi kecil, warga seringkali merasa lebih nyaman dan cepat menggunakan uang receh.

"Rasanya sih sudah bisa (berjalan), tapi tidak bisa dipukul rata. Di beberapa wilayah Banten, praktiknya sudah baik, tapi untuk UMKM mungkin butuh waktu lebih lama," paparnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso mengingatkan, berdasarkan Pasal 33 ayat (2) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, setiap orang dilarang menolak menerima rupiah saat melakukan transaksi.

"Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengatur bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)" katanya dalam keterangan.

"Kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah tersebut. Dengan ini, maka yang diatur adalah penggunaan mata uang Rupiah dalam transaksi di Indonesia," sambungnya. (mam)

Sumber: