Di tengah pesatnya pertumbuhan toko online atau e-commerce di tengah era digital, pengusaha pusat perbelanjaan dihadapkan dengan tantangan yang cukup besar dalam bertarung di dunia bisnis.
Kendati demikian, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai, pertumbuhan e-commerce tidak akan mengganggu pertumbuhan bisnis pusat belanja. Sebab, saat ini masyarakat masih menyukai belanja di gerai pusat perbelanjaan (toko offline). Kendati demikian, dia tetap mengingatkan e-commerce harus tetap diwaspadai.
"Tapi sekali lagi saya berikan early warning untuk diri kita masing-masing, jangan abaikan online. Karena e-commerce itu yang jadi persoalan adalah saat masyarakat belanja itu tidak bayar pajak, sedangkan mereka datang ke mal sudah bayar pajak. Kemudian bayar sewa yang mahal, jadi itu terjadi persaingan," kata Enggar dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) APPBI di Gandaria City, Jakarta, Senin (8/5).
Menurutnya, masyarakat tetap saja membutuhkan tempat berinteraksi dalam bertransaksi. Dengan demikian, pengusaha pusat belanja harus mampu meningkatkan kreativitasnya agar masyarakat tetap gemar datang ke mal dan berbelanja. "Karena tetap saja orang berpikir akan datang lagi, dan masih banyak lagi inovasi-inovasi yang ada," tuturnya.
Dari Catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dari hampir 258 juta penduduk Indonesia dengan pendapatan perkapita USD 3.600, hampir 50 juta penduduk masuk kategori mampu dan menghabiskan USD 75 miliar untuk kuliner dan USD 22 miliar untuk pakaian dan lainnya.
"Dan 30 persen penduduk Indonesia itu ada dari middle class. Ada banyak penduduk yang usia menengah dewasa, yang masuk dalam angkatan kerja. Jadi potensinya itu sangat besar," jelas Enggar. (cr1/JPG)