Ketika Ibu Kota Banten Masih Dihiasi Anak Jalanan, Mencari Pundi-pundi Rupiah di Sela Kemacetan

Selasa 18-11-2025,22:20 WIB
Reporter : Aldi Alpian Indra
Editor : Andi Suhandi

TANGERANGEKSPRES.ID, TANGERANG — Hujan baru saja mereda ketika lampu merah di simpang Sempu, Kota Serang kembali menyala. Genangan air di permukaan jalan memantulkan cahaya merah yang berpendar di tengah hiruk-pikuk kendaraan sore itu. Aroma aspal basah bercampur dengan deru knalpot, sementara sejumlah pengendara terlihat tergesa ingin segera sampai rumah. Namun di balik pemandangan yang lazim itu, tampak empat anak duduk di atas pembatas jalan, seperti bagian dari rutinitas kota yang tak pernah benar-benar hilang.

Mereka bukan pengendara, bukan pula pejalan kaki. Mereka adalah anak-anak jalanan (anjal) yang mencari hidup di sela-sela kemacetan. Pakaian mereka basah, sebagian kusam, tapi mata mereka terus mengikuti ritme lampu lalu lintas. Ketika merah menyala, mereka bangkit. Ketika hijau melintas, mereka menepi lagi, seolah hidup mereka diatur oleh warna yang berganti tiap detik.

Diantara mereka, seorang remaja laki-laki berdiri dengan gitar lusuh yang digenggam erat. Senarnya mulai berkarat, namun suara yang ia hasilkan tetap mengalun, lambat, kadang sumbang, tapi membawa kisah. Ia memperkenalkan diri sebagai Rian.

Meski tubuhnya mungil untuk remaja seusianya, semangat Rian terlihat jelas. Sambil menunggu lampu merah berganti, ia duduk sebentar di tepi pembatas jalan, mengistirahatkan jarinya yang tampak lecet.

“Sehari-hari ngapain di sini, Rian?” tanya reporter Tangerang Ekspres ketika ia menepi saat lampu kembali hijau.

Rian menatap simpang yang mulai padat, seperti tengah menimbang setiap kendaraan yang melintas. “Main gitar aja, Bang. Nyanyi. Kadang bantu teman. Kalau lagi rame ya lumayan… bisa dapet buat makan, kadang buat bantu rumah,” ujarnya.

Ia menyebut semuanya dengan nada datar, bukan mengeluh, bukan pula bangga, seperti seseorang yang sudah terlalu lama berdamai dengan keadaan. Ketika ditanya sejak kapan ia mulai turun ke jalan, Rian tidak butuh waktu untuk mengingat.“Dari kecil sih, Bang. Udah diajak-ajak aja, jadi sampai sekarang,” katanya. 

Baginya, jalanan bukan tempat asing, melainkan seperti halaman rumah yang terlalu bising. Padahal, simpang itu bukan tempat yang aman. Kendaraan melaju cepat, terlebih saat hujan membuat jalan licin. Ketika ditanya apakah ia pernah takut, Rian hanya tersenyum kecil. “Awalnya takut. Pernah hampir keserempet. Tapi lama-lama biasa," timpalnya.

Ia mengucapkannya tanpa dramatisasi, seolah pengalaman hampir terserempet kendaraan adalah bagian dari rutinitas sehari-hari. Sesuatu yang bagi kebanyakan orang akan menggetarkan, bagi Rian hanyalah risiko yang ia terima demi memenuhi kebutuhan hidup.

Namun di balik sikap pasrahnya, terselip sebuah harapan yang lirih. Ketika ditanya apa keinginannya ke depan, Rian menunduk sebentar, memandangi gitar kecilnya. Senar yang hampir putus itu seperti menjadi cermin hidupnya—bertahan seadanya, tapi masih ingin terus berbunyi.

Rian hanya satu dari banyak anak jalanan yang setiap hari menghuni sudut-sudut Kota Serang. Mereka tumbuh di tengah bising kendaraan, hidup diantara lampu merah dan asap knalpot, dengan mimpi yang sering terhalang realitas.

Obrolan terhenti ketika lampu merah kembali menyala. Seperti refleks, Rian berlari kecil sambil memetik lagi gitarnya, menyanyikan lagu yang hampir tenggelam oleh deru kendaraan. Beberapa pengendara menoleh, sebagian membuka kaca dan memberikan uang receh.

Sore itu, wajah Rian seakan menjadi potret banyak anak lainnya yang tumbuh di tengah kota, tanpa bangku sekolah, tanpa kepastian masa depan, tapi memiliki keberanian untuk bertahan.

Fenomena anak jalanan seperti Rian tidak berdiri sendiri. Di berbagai sudut pusat keramaian, anjal dan gepeng semakin sering terlihat. Mereka muncul di perempatan, dekat pusat belanja, hingga di jalan protokol.

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Serang, Muhammad Ibra Gholibi, mengakui lonjakan ini. Ia dan timnya kini sedang melakukan pendataan dan penjaringan secara intensif. Pendataan itu, kata Ibra, bukan semata-mata tindakan represif. Ada tanggung jawab kemanusiaan yang harus dijalankan pemerintah.“Upaya ini bukan hanya untuk menjaga ketertiban umum dan kenyamanan warga, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial pemerintah terhadap kelompok rentan,” ujarnya.

Tags :
Kategori :

Terkait