Kelima, APDESI meminta kepada Pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, sehingga tidak boleh lagi ada kepala desa yang diperiksa oleh aparat penegak hukum hanya karena kebijakan administratif kepala desa, serta tidak boleh ada lagi titipan-titipan instansi dalam penggunaan dana desa. Dari oknum aparat termasuk peningkatan kapasitas pemerintahan desa.
Keenam, APDESI meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri untuk mengeluarkan instruksi agar menindak tegas okunum-oknum kejaksaan dan kepolisian, yang senantiasa memberikan tekanan dengan modus ada laporan masyarakat dan LSM. Modus pemeriksaan memberikan tekanan dan mengganggu kinerja pelayanan pemerintahan di tingkat desa.
Ketujuh, APDESI meminta kepada Pemerintah, agar melakukan evaluasi terhadap kebijakan pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa, yang sering dipolitisasi oleh Kepala Daerah, dengan meminta Kementerian Dalam Negeri menerbitkan aturan tentang pemilihan kepala desa dilakukan sebelum berakhir masa jabatan.
Kedelapan, APDESI meminta kepada Pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap pendamping desa, baik proses penerimaan, pengangkatan, maupun dalam menjalankan tugas, sehingga Pendamping Desa bisa lebih efektif dan fungsional dalam mendukung pelaksanaan pembangunan di tingkat desa.
APDESI merekomendasikan agar selambat lambatnya tahun 2026 pendamping desa menjadi 'Pendamping Pembangunan dan Pemerintahan' yang kedudukannnya berada dibawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri, meletakkan pendamping dalam satu kesatuan koordinasi pemerintahan akan menghindarkan dari adanya kepentingan politik pendamping, seperti yang terjadi saat ini dan meletakkan pendamping dalam fungsi koordinasi pemerintahaan akan menciptakan koordinasi baik di ringkat provinsi dan kabupaten. APDESI akan melakukan boikot penerimaan dan pelayanan, jika tidak dilakukan evaluasi dan secara serius mengingat pendamping
selama ini tidak dirasakan manfaatnya tetapi menghabiskan anggaran APBN setiap tahun hingga 1,3 triliun.
Kesembilan, APDESI meminta kepada Pemerintah agar memberikan yuridiksi kepada desa yang berada di kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), hutan lindung, maupun cagar alam, agar desa-desa yang masuk dalam kawasan tersebut dikeluarkan dari jawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), agar desa bisa mengeluarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan membuat infrastruktur jalan sehingga tidak bertentangan dengan aturan Kawasan hutan tersebut, mengingat lebih 28.000 desa masih ada di area kawasan hutan lindung.
Kesepuluh, meminta kepada Pemerintah untuk melibatkan organisasi desa termasuk APDESI dalam penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai Turunan UU nomor 3 tahun 2024. (*)