Bursa calon presiden makin riuh. Apalagi partai-partai mulai mendeklarasikan dukungan untuk mengusung Jokowi pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Namun, sejauh ini belum ada partai yang mendeklarasikan calon wakil presiden (wapres) untuk mendampingi Jokowi. Sejumlah simulasi pun dimunculkan. Bahkan, sudah ada yang menduetkan Jokowi dengan Tito Karnavian ataupun Gatot Nurmantyo. Ada pula yang menduetkan Prabowo Subianto dengan Gatot. Menurut pengamat polisik Emrus Sihombing, pertarungan akan menarik jika Jokowi berduet dengan Tito, sedangkan Prabowo menggandeng Gatot. “Dua-duanya berkualitas," ujar Emrus seperti diberitakan JawaPos.com, Senin (7/8). Namun, kata Emrus sejauh ini, Jokowi memang masih teratas untuk urusan elektabilitas. Apalagi kinerja positif Jokowi sudah dirasakan masyarakat. "Kalau pembangunan infrastruktur benar terwujud di 2019, saya pikir dia punya elektabilitas melonjak tinggi. Siapa pun yang dipasangkan dengan Jokowi hampir dipastikan menang Pilpres," tutur Emrus. Namun, Emrus juga menilai posisi Prabowo patut diperhitungkan. Selama ini, ketua umum Partai Gerindra itu mampu menunjukkan sikap kenegarawanannya. Bahkan, Prabowo sering bertindak layaknya negarawan dan pandangan yang solutif bagi persoalan bangsa. Jika Prabowo berpasangan dengan Gatot, duet sesama militer memiliki peluang menang. "Gatot sudah menjabat jabatan tertinggi di TNI. Itu bukan jabatan yang sembarangan, luar biasa. Dia punya kapabilitas dan integritas," tuturnya. Akan tetapi, sambung Emrus, lebih mantap lagi jikalau Jokowi berduet dengan Gatot. Keberhasilan Jokowi dalam membangun akan dilengkapi back up dari Gatot yang berlatar belakang militer. "Menurut hipotesis saya yang paling bisa menang ke depan andai Joko Widodo dipasangkan dengan Gatot," pungkasnya. Dalam beberapa kesempatan, pidato Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah bertemakan ketatanegaraan. Hal ini menjadi sinyal, Gatot akan meramaikan bursa calon wakil presiden. Meskipun, Gatot juga sudah menegaskan saat ini dirinya fokus menjalankan tugas sebagai panglima TNI. Ia tidak akan berpolitik praktis atau melakukan lobi-lobi politik. Saat menjadi pemateri pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Partai Hanura di Kuta, Badung, Bali, Jumat (4/8), Gatot Nurmantyo berbicara tentang konsep pembangunan jangka panjang. Ia menyatakan, harusnya Indonesia memiliki program pembangunan jangka panjang. Tujuannya agar kebijakan pemerintahan tidak selalu berubah ketika ada pergantian presiden. "Kita mau kawin saja ada perencanaan, satu tahun, dua tahun. Negara yang begitu besar perencanaanya lima tahun dan yang merencanakan, visi presiden. Lima tahunan, habis itu ganti lagi," ujarnya. Karena itu dia berharap agar Indonesia nantinya memiliki program jangka panjang yang menjadi pegangan siapa pun presidennya dan bukan hanya untuk jangka waktu lima tahun. Bahkan BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden kurang dari lima tahun. Baru di periode 2004-2009 dan 2009-2014 Indonesia dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden asal Pacitan, Jawa Timur itu menjabat selama dua periode dari hasil pemilihan langsung. Namun, Gatot mengaku khawatir jika Indonesia tidak punya program jangka panjang. Sebab, program yang sudah mulai dikerjakan bisa berhenti di tengah jalan karena pergantian presiden. "Contohnya sekarang ini, kalau tahun depan ganti bukan Pak Jokowi, itu infrastruktur nggak berlaku itu. Sekarang kan terserah presidennya. Konsentrasi saya ke ini, apa yang terjadi. Yang merusak kita sendiri dengan aturan-aturan. Undang-undang yang dibuat satu minggu, dua mingggu pada waktu itu," pungkasnya. (jpc)
Dipasangkan dengan Siapa pun Gatot Oke
Rabu 09-08-2017,09:35 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :