BJB NOVEMBER 2025

Empat Bulan Terperangkap di Kamboja, Kisah Pilu Abit, Korban Perdagangan Orang Berhasil Pulang ke Mauk

Empat Bulan Terperangkap di Kamboja, Kisah Pilu Abit, Korban Perdagangan Orang Berhasil Pulang ke Mauk

Gambar kolase Abit Gunaevi dan ruangan kamar tidurnya saat bekerja di Kamboja.(Foto: Keluarga Abit Gunaevi for Tangerang Ekspres)--

TANGERANGEKSPRES.ID, MAUK — Di balik janji gaji fantastis dan pekerjaan kantoran di luar negeri. Kamboja seperti teater balai kisah pilu, bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang terperangkap perdagangan orang, diduga oleh sindikat penipuan daring (online scam).

Kali ini, adalah kisah tentang Abit Gunaevi, pemuda asal Kampung Nagrek, RT 04 RW 04, Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, yang akhirnya berhasil lolos dari penyiksaan dan perbudakan diduga oleh sindikat penipuan daring (online scam) di Kamboja setelah empat bulan terperangkap.

Abit, begitu ia akrab disapa, lulusan di SMKN 5 Kabupaten Tangerang, tergiur oleh tawaran pekerjaan sebagai telemarketing, dengan gaji bulanan menggiurkan mencapai Rp12 juta, melalui seorang pendatang asal Ibu Kota yang numpang tinggal di rumah tetangganya, awal Februari 2025.

Setelah melalui proses yang cepat, ia stay semalam di salah satu hotel dekat Bandara Soekarno-Hatta, kemudian diterbangkan ke Kamboja. Setibanya di sana, realitas yang ia hadapi jauh dari harapan.

Ia dibawa ke sebuah kawasan seperti asrama militer. Bukan untuk memasarkan produk, melainkan menjadi budak online scam yang bertugas menipu sesama WNI bergaya hedon di media sosial, untuk masuk jebakan investasi bodong.

Firman Hidayah, kakak kandung Abit, menceritakan kengerian yang dialami adiknya. Abit dan belasan WNI lainnya dipaksa bekerja selama 14 jam sehari, mulai pukul 10.00 hingga 24.00 waktu setempat, hanya dengan dua kali jatah makan. Mereka ditargetkan melakukan penipuan, dan kegagalan mencapai target berujung hukuman fisik.

”Kalau engga dapat target, bisa dihukum squat jump sambil gendong galon berisi air,” tutur pria yang akrab dipanggil Firman, kepada Tangerang Ekspres, dengan suara bergetar saat menggambarkan penyiksaan yang dialami adiknya, belum lama ini.

Bahkan, Abit menyaksikan langsung pemandangan mengerikan, termasuk melihat dua mayat di dalam kerangkeng besi kecil saat diturunkan dari lantai atas. Ia diperlakukan layaknya budak yang dijual-beli, dengan biaya kepulangan ke Indonesia bisa mencapai Rp60 juta.

Setelah empat bulan disiksa secara fisik dan mental, Abit bersama sekitar 17 WNI lainnya sempat merencanakan pelarian, mencoba melompati pagar tembok setinggi tiga meter dan kabur menuju hutan perbatasan Thailand. Namun, upaya itu terasa berat, karena penjagaan ketat yang dilengkapi senjata kejut listrik (stun gun) dan senjata api laras panjang.

Singkat cerita, Asa Abit kembali menemui titik terang setelah kakaknya, Firman, melaporkan nasibnya ke Kantor Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sejak Mei 2025.

Puncaknya, pada 3 Juli 2025, Abit bersama dua WNI lainnya berhasil diselamatkan oleh Kepolisian setempat dan kembali ke Tanah Air. Ia tak mengetahui nasib 15 WNI lainnya yang hingga kini belum diketahuinya. Ia juga tak mengerti mengapa tidak semua WNI dibawa dari tempat itu oleh Kepolisian setempat.”Kepolisian setempat hanya bawa tiga nama dicatatan mereka, termasuk nama Abit Gunaevi. Saat nama Abit dipanggil oleh seorang kaki tangan perusahaan, spontan Abit angkat satu tangannya. Lalu, Abit diserahkan ke Kepolisian setempat,” ungkap Firman, dengan wajah yang tak bisa menutupi kebingungannya.

Meski telah tiba kembali di Mauk, Tangerang, trauma akan penyiksaan di luar negeri masih menghantui Abit. Firman mengungkapkan, adiknya baru-baru ini menolak tawaran pekerjaan ke Korea Selatan secara legal, itu menunjukkan dalamnya luka psikologis yang diakibatkan pengalaman pahit di Kamboja.(zky)

Sumber: